;
Promosi Blog Gratis
My Ping in TotalPing.com

Rabu, 29 Mei 2013

Kisah Si Dukun Cabul 03

Rabu, 29 Mei 2013

Mbah melihat dari pipismu tadi, ternyata ilmu gendamnya si Kasno sudah masuk
dalam sekali ke dalamnya. Mbah sudah coba sedot sedot tadi, tidak mau keluar
juga. Berbahaya sekali Nduk, nanti kalau dibiarkan jadi ngabar (menguap) masuk
ke pembuluh darahmu, bisa mati kowe. Mbah harus mencoba cara yang lebih kuat.
Agak sakit mungkin Nduk, nggak apa-apa ya?" kataku penuh rasa sayang dan
kasihan. Kuelus rambutnya yang sekarang tampak awut-awutan. Dia mengangguk,
mengulang lagi kata-katanya yang bego tadi: "inggih Mbah, kulo nderek
kemawon..". Aku mengangguk-angguk: "anak baik. Kasihan sekali kowe Nduk".
Sekarang aku mengangkat tubuhnya yang sudah lemas dari atas meja, dan dengan
lembut membimbingnya ke dipan yang ada di sudut. Kubaringkan tubuh bugil yang
sudah lemas itu, dan dengan hati-hati kulebarkan kakinya. Kini dia terbaring
mengangkang, kemaluannya terbuka lebar seakan siap menerima segala
kenikmatan duniawi. Aku duduk berlutut, kemaluanku sudah tegang betul dan kini
terarah ke lobang kemaluannya. Kugesek-gesek kepala jagoanku ke kelentitnya. Dia
mengerang pelan, matanya tertutup rapat. Kurendahkan tubuhku, kini aku telungkup
di atas badannya. Kukecup bibirnya dengan lembut: "sudah siap, ya Nduk. Agak
sakit, ditahan saja. Pokoknya Mbah usahakan kamu jadi sembuh betul". Dia
mengangguk, tidak membuka matanya: "inggih Mbah" desisnya lirih.
Kini aku memegang batang kemaluanku, dengan sangat hati-hati menusukkannya
ke kemaluan si Suminem yang masih basah kuyup bekas hisapanku tadi. Satu
senti..dua senti.. tiga senti.. sempit sekali. Suminem mengerang: "ss.. sakit
Mbah.." tampak wajahnya mengernyit kesakitan. Tangannya memegang dan
meremas lenganku. "Tenang Nduk..tenang.. tahan sedikit.. nanti lama-lama
sakitnya hilang, berganti rasa enak".
Aku harus mengakui, inilah lobang kemaluan ternikmat yang pernah kurasakan.
Sebelumnya aku hanya bisa bermain dengan pelacur-pelacur, atau paling banter
dengan si Jaetun janda muda yang gatel di desa sebelah. Semuanya sudah
melongo lubangnya, sama sekali tidak enak. Tetapi yang ini, sungguh lezat, legit
dan super sempit. Dasar perawan.. kutekan agak keras kemaluanku, diikuti dengan
teriakan Suminem: "aauuwww.. saakiit Mbah.." aku cepat-cepat melumat bibirnya,
agar teriakannya tidak berkembang menjadi raungan..
Sekarang dengan cepat dan akhli aku menekan kemaluanku, sekalian saja sakitnya
pikirku. Dan..bless..masuklah seluruh kemaluanku ke dalam lobang memeknya.
Tubuh Suminem terlonjak di bawahku, tangannya meremas lenganku sangat keras.
Matanya terbeliak, tetapi mulutnya tidak bisa memekik karena tersumpal bibirku.
Aku diam sejenak, menunggu lonjakannya hilang.
Akhirnya dia diam, hanya napasnya masih tersengal-sengal. Sekarang, setelah
semua tenang, kulepaskan ciumanku: "masih sakit, Nduk?" dia mengangguk: "tapi
lama-lama nggak perih kan?" dia mengangguk lagi. Lugu betul anak ini: "Mbah
terusin ya? tidak lama lagi kok". Sekali lagi dia mengangguk. Kugoyangkan
pantatku lagi pelan-pelan, tidak ada respon penolakan darinya. Kogoyangkan lagi
semakin kuat, dan tanganku mulai menggerayang memainkan puting susunya. Dia
mengeluh. Dia merengek. Jelas si Suminem ini mulai menikmati permainan ini.
Pinggulnya mulai ikut bergoyang, meskipun agak kaku.
Aku tidak berani merubah posisiku ini, takut kalau dia kesakitan lagi. Goyanganku
juga kuusahakan seteratur mungkin, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat.
Malah goyongannya yang semakin lama semakin tidak teratur. Kepalanya
bergoyang ke kiri dan ke kanan, mulutnya mendesis-desis dan tangannya
mencengkeram erat lenganku. Matanya terpejam dan raut wajahnya menampakkan
campuran kesakitan dan kenikmatan yang sangat.
Dipan bobrok ini mulai terdengar berkeriet-keriet. Akhirnya terdengar proklamasi si
Suminem, persis seperti tadi: "aakhh.. ad..uuh.. mbaah.. aku.. aa.." dan kurasakan
cairan menyemprot di lobang kemaluannya. Akhirnya kepalanya terkulai lemas ke
kiri (sejak kami mulai main tadi, matanya terus terpejam). Aku mengutuk dalam
hati. Jangkrik, aku sendiri belum keluar nih. Kuperkuat genjotanku, kufokuskan
pikiranku pada kenikmatan yang kualami sekarang ini. Kuremas-remas susunya
semakin kencang. Dan akhirnya kurasakan desakan dalam kemaluanku, desakan
yang sudah sangat kukenal. Aku sudah mau orgasme.
Tetapi aku tidak ingin mengakhiri permainan ini begitu saja. Kukeluarkan tembakan
terkhirku: "Nduk, Nduk, Mbah rasa ajiannya si Kasno sudah berhasil Mbah
hilangkan. Tetapi kau harus meminum ajian dari tubuh Mbah ya? supaya kamu
kebal terhadap segala ngelmu hitam macam ini". kataku tersengal-sengal.
Suminem hanya mengangguk saja, matanya tetap terpejam. Melihat tanda
persetujuan itu, aku segera mencopot kemaluanku dari memeknya, begitu cepat
sehingga terdengar suara, "plop". Aku segera mengangkang di atas tubuhnya,
batang kemaluanku kuarahkan ke mulutnya: "ini Nduk" kataku. Tangan kananku
mengangkat kepalanya yang terkulai, sedangkan tangan kiriku terus mengocok
batanganku.
Mata si Suminem membuka malas, melihat senjataku bergelantung di depan
wajahnya. Aneh, Dia tidak tampak kaget lagi (mungkin lama-lama dia sudah
biasa?) dia menggumam malas: "mana obatnya Mbah? sini biar aku minum." Aku
mendesah penuh nafsu: "ini Nduk, obatnya ada dalam burung Mbah ini. Minumlah"
kataku. Suminem menjawab dengan malas, seperti orang setengah sadar: "dihisep
dulu Mbah? Sini gih. Biar cepet selesai". Dan tanpa bertanya lagi, dia memegang
kontolku dan memasukkan ke mulutnya. Waduh, hebat banget si geNduk ini.
Meskipun tetap dengan gaya malas, seperti setengah sadar, dia mulai menyedot
nyedot kemaluanku dan lidahnya secara reflek juga bergerak-gerak menyelusuri
batang kontolku. Aku bergetar hebat. Kutelungkupkan tubuhku di atas tubuhnya,
dan kugoyangkan pinggulku sehingga kemaluanku bergerak keluar masuk mulutnya.
Rasanya bahkan lebih nikmat daripada bersetubuh biasa. Beberapa kali tanpa
sengaja gigi Suminem bergesekan dengan kemaluanku, membuat kenikmatan yang
kurasakan semakin melambung.
Kupercepat goyanganku, tetapi tetap menjaga agar dia tidak sampai tersedak.
Akhirnya tekanan dalam kemaluanku tidak dapat kutahan lagi: "Nduk, ini Nduk.."
erangku: "telan semua ya" dan croot.. muncratlah air maniku ke dalam mulutnya.
Kurasakan hisapan dan jilatannya berhenti. Dua kali lagi aku menyemprotkan
maniku di mulutnya, semuanya tampak tertelan (karena posisinya terlentang, jadi
tidak ada yang terbuang keluar).
Kudiamkan posisi ini agak lama, sampai kurasakan kemaluanku mulai mengecil dan
akhirnya lepas sendiri dari mulutnya. Aku berguling ke samping, kulihat Suminem
tetap telentang dengan mata tertutup. Bibirnya yang seksi kini tampak berlepotan
air mani, tampaknya masih ada maniku yang tertahan di mulutnya dan belum
tertelan. Aku bangun dan mengambil gelas berisi air kembang tadi, dan
menyodorkan kemulutnya dengan lembut: "minum Nduk, minum. Biar semua obat
Mbah masuk ke badanmu. Ini air kembang juga berkhasiat kok." Dia menurut dan
meneguk habis air itu. Akhirnya kubimbing dia berdiri, dan kubantu dia memakai
bajunya. Aku juga memakai bajuku. Kami sama sekali tidak bicara saat itu.
"Bagaimana Nduk? Apakah kamu sudah merasa enakan?" dia diam saja.
Tangannya menyisir rambutnya, dan membetulkan bajunya yang awut-awutan.
Kuelus rambutnya.
"Mbah, apakah pasti saya sudah sembuh?" tanyanya dengan suara bergetar. Aku
mengangguk: "pokoknya, semua sudah beres. Tadi Mbah itu mempertaruhkan
nyawa Mbah lho. Kalau gagal tadi pasti ilmu hitamnya si Kasno berbalik
menghantam Mbah. Untunglah semua sudah berakhir."
Dia mengangguk, wajahnya tetap menunduk: "matur nuwun, Mbah." Katanya:
"Berapa saya harus bayar Mbah?" aku tergelak: "wis, wis, bocah ayu, Mbah nggak
minta bayaran kok. Bisa menyembuhkan kamu saja Mbah sudah bersyukur
banget." Kulihat bibir si Suminem tersenyum halus, mengangguk dan meminta ijin
pulang. Kubuka pintu kamarku dan aku memanggil salah satu tukang ojek yang
mangkal untuk mengantarkannya pulang. Dalam beberapa detik, tubuh bahenol
Suminem hilang tertelan kegelapan malam.
Aku menghela napas dan masuk kembali ke kamar. Tiba-tiba aku tertegun. Lha,
kok aku sampai tidak menanyakan si Suminem itu tadi siapa ya? karena sudah
terbelit nafsu aku sampai tidak menanyakan pertanyaan – pertanyaan standar
seorang dukun: rumahmu dimana, bapakmu siapa..
Ah, aku menggeleng. Rasanya aku tidak pernah lihat dia sebagai warga sekitar
sini. Mungkin dia dari Wonolayu, desa sebelah sana. Biarin saja. Aku masuk kamar
praktekku, dan segera menggelosor di dipan yang tadi kugunakan untuk bercinta
dengan Suminem. Dalam beberapa menit aku terlelap. Entah berapa jam aku
tertidur, ketika sayup-sayup kudengar..
TOK..TOK..TOK..
"Bangun, Darmanto bangsat! bangun!" suara yang sayup-sayup tadi kini menjadi
semakin jelas seiring dengan meningkatnya kesadaranku. Dengan terseok-seok aku
berdiri dan menuju pintu, membukanya dengan malas. Baru pintu kubuka sedikit,
tiba-tiba.. bruuk..seorang laki-laki tinggi besar menyerbu masuk, dan tanpa basa-
basi tangannya menampar pipiku. Aku mengaduh dan terbanting ke lantai. Waktu
aku melihat siapa si pembuat onar itu, kulihat Mas Darmin, blantik (pedagang sapi)
tetanggaku, sedang berdiri dengan mata merah dan berapi-api. Tubuhnya yang
tinggi besar dan berkumis melintang (dia memang keturunan warok Ponorogo)
tampak sangat menyeramkan.
Aku berteriak keheranan: "mas.. Mas Darmin.. ada apa ini? kok tiba-tiba kesetanan
kayak gini?"
Mas Darmin balas berteriak, matanya semakin mendelik: "kesetanan gundulmu..
kamu yang kemasukan setan! apa yang kamu lakukan kemarin malam, Dar? ayo
ngaku!!". aku semakin bingung: "yang apa to mas? aku ora ngerti." Si warok itu
tampak semakin marah: "kemarin malam! si Suminem! Sumineemm! kamu apakan
dia?"
Wah, aku jadi kaget. Suminem itu apanya dia? kalau anak tidak mungkin, aku tahu
Mas Darmin cuma punya dua anak laki-laki: "si Suminem itu apanya mas?"
tanyaku. Mas darmin berteriak marah: "kuwi ponakanku, bedes (monyet)! semalam
dia datang ke rumah, katanya baru ke kamu terus karena kemalaman dia takut
pulang ke rumahnya di Wonolayu. Di rumah dia nangis-nangis, katanya pipisnya
sakit sekali. Waktu dilihat mbakyumu, celana dalamnya ternyata basah oleh darah.
Walaah..dia akhirnya ngaku semua apa yang kamu lakukan. Iyo tho? ayo ngaku,
bedes!" dan dengan berkata begitu ia menubruk lagi tubuhku. Satu bogem mentah
kembali melayang ke pipiku. Aku berteriak kesakitan.
Aku hanya bisa meratap: "mas.. mas.. ampun mas, aku tidak mau kok
sebetulnya..si Suminem yang memaksa.." aku coba membela diri sebisanya.
Mendengar itu, Mas darmin jadi semakin marah: "opo jaremu (apa katamu)? Si
Suminem yang minta? kamu kira keluargaku kuwi keluarga perek opo? pikirmu si
Suminem kuwi bocah nakal tukang goda wong lanang? weehh.. kurang ajar kowe
Dar. Bangsat! asu! kucing! wedus! bedes!" dan sambil mengeluarkan
perbendaharaan nama segala jenis binatang yang ada dalam kepalanya, Mas
Darmin kembali menendang tubuhku yang sedang menggelosor pasrah di lantai.
Dan dengan ngeri kulihat tangannya mulai menarik pecut (cemeti) yang melingkar
di pinggangnya, pecut yang biasa dia gunakan kalau lagi akan jualan sapi. Aku
semakin meringkuk: "ampuun maas.." rengekku.
Dalam suasana yang sangat genting itu, tiba-tiba beberapa orang menerobos
masuk. Aku melihat Pak Sitepu, ketua RW kami yang langsung memeluk Mas
Darmin yang lagi kesetanan: "sudah..sudah mas.. mati pula dia nanti.. tenang
sajalah kau.." katanya dengan logat batak yang kental. Seorang lagi yang
menerobos masuk adalah seorang polisi. Dia membantuku berdiri dan dengan
formal berkata: "Bapak Darmanto, saya menahan bapak atas tuduhan pemerkosaan
terhadap anak di bawah umur. Saya minta bapak ikut saya ke polsek sekarang
juga." Aku hanya mengangguk mengiyakan. Kulihat di belakangnya bapak dan
ibuku, yu Mini dan keluargaku yang lain melihat semua adegan dahsyat itu dengan
melongo tanpa bisa berkata apa-apa.
Mas Darmin terus berteriak-teriak: "Ya, Pak polisi.. cepet saja ditangkap si bedes
ini. Daripada nanti kalau lepas bisa kalap aku. Tak cacah dagingmu, tak jadikan
rawon! tak jadikan sop! tak jadikan rendang..!" sekarang dia mengancam dengan
segala jenis masakan yang dia ingat. Aku menghela napas. Dengan gontai aku
mengikuti Pak polisi itu, keluar rumahku. Di depan rumah ternyata ada puluhan
orang lain yang sudah berkumpul, para tukang ojek yang mangkal, tetangga, dan
orang-orang lain. Semuanya melongo melihatku.
Dari dalam masih kudengar teriakan Mas Darmin, menyebut segala jenis makanan
yang rencananya akan mempergunakan dagingku sebagai bahan lauknya: "tak
jadikan sate! tak jadikan opor!". seorang tetanggaku berteriak mengejek: "entek
nasibmu (habis nasibmu) Dar! makanya kalau hidup jangan hanya ngurusi kontol
thok!".
Ya, memang habislah nasib dan karirku saat ini sebagai dukun. Oh, nasiib..

Anda sedang membaca artikel tentang Kisah Si Dukun Cabul 03 dan anda bisa menemukan artikel Kisah Si Dukun Cabul 03 ini dengan url http://kumpulan-ceritaxxx.blogspot.com/2013/05/kisah-si-dukun-cabul-03.html, anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Kisah Si Dukun Cabul 03 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda, namun jangan lupa untuk meletakkan link Kisah Si Dukun Cabul 03 sumbernya.

Keyword : cerita seks,cerita dewasa,cerita,kumpulan cerita,mendesah,selingkuh,nikmat,sumber cerita,kumpulan cerita seks,hot story



Selamat Datang Di Cerita Seks Terbesar di Indonesia

Admin Mesum - 05.29
MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI
Silahkan Promosikan Situs/Web atau Blog Anda Disini



Shout
Review http://kumpulan-ceritaxxx.blogspot.com on alexa.com
backlink
Email extractor software for online marketing. Get it now free, Email Extractor 14. online-casino.us.org

 
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Kumpulan Ceritaxxx - All Rights Reserved