;
Promosi Blog Gratis
My Ping in TotalPing.com

Kamis, 24 Mei 2012

santi & Novi : oral lesson

Kamis, 24 Mei 2012

Novi sedang melamun ketika kakaknya, Santi, datang berkunjung ke rumahnya. Sebenarnya rumah mereka berdua tidaklah berjauhan. Namun karena satu-dua hal belakangan ini mereka jarang bertemu.
"Duuuh, pengantin baru kok melamun sih?" Santi menggoda.
"Eh, Ka Santi. Tumben mampir nih?" 
"Iya, jadi ga enak. Aku mau minta tolong."
"Minta tolong? Untuk kakakku satu-satunya pasti aku tolong," ujar Novi dengan wajah yang lebih ceria.
"Kamu ini bisa aja. Begini, Nov. Hari Senin depan aku harus pergi ke luar kota selama 3 hari. Biasa deh, tugas kantor. Jadi, kamu bisa bantu-bantu Tomy menjaga Kirani?"
"Hmmm... bagaimana yah? Aku jadi bingung...," wajah Novi berkerut seperti sedang berpikir keras.
Melihat hal ini, Santi menjadi agak kecewa. Novi adalah satu-satunya keluarganya yang tinggal di Jakarta. Kedua orang tua mereka sudah meninggal sekitar 12 tahun yang lalu. Setelah kedua orang tua mereka meninggal, mereka diasuh oleh nenek mereka di Bandung. Mereka berdua sangat akrab. Bagaimana tidak, mereka harus saling bantu selama tinggal bersama neneknya. Namun sejak kecil Novi selalu bergantung kepada Santi. Baru belakangan ini, sejak berpacaran dengan Ferry dan akhirnya menikah dengannya, Novi mulai bisa sedikit demi sedikit melepaskan ketergantungannya kepada Santi. Dan kali ini, giliran Santi yang meminta bantuan kepada Novi dan kelihatannya ia harus mencari jalan keluar lain untuk masalahnya ini.
"Hahaha... Ka Santi polos yah? Tentu saja aku akan bantu," tiba-tiba saja wajah Novi berubah menjadi ceria lagi.
"Iihh kamu ini. Awas yah, aku balas nanti," kata Santi sambil mencubit lengan Novi. Lalu mereka berdua tertawa ringan.
Setelah memberi semua petunjuk yang diperlukan oleh Novi, Santi beranjak untuk pergi.
"Kamu ga kenapa-kenapa, kan, Nov?" Santi bertanya.
"Oh! Enggak, Ka Santi. Enggak apa-apa, kok. Toh, aku masih menganggur, jadi pasti bisa bantu kakak."
"Bukan, bukan itu yang kumaksud. Kelihatannya kamu sedang ada masalah. Pikiranmu seperti sedang menerawang. Ada apa sih? Apakah masalah uang?" tanya Santi lagi.
"Tidak, Kak. Aku tidak apa-apa, kok," Novi menjelaskan.
"Ah, kamu. Kamu itu sejak kecil aku yang urus, mana mungkin kamu bisa menyembunyikan perasaan kamu terhadapku. Aku ini kakakmu. Kakak satu-satunya. Masa sih kalau kamu ada masalah aku tidak akan bantu?"
"Sungguh, Kak. Aku tidak apa-apa."
Santi merogoh tasnya mencari-cari sesuatu lalu berkata, "Ini aku titipkan kamu uang. Tidak seberapa jumlahnya. Aku tahu kamu lagi ada masalah. Tapi karena kamu ga mau bicara, aku cuma bisa bantu ini." Santi menyodorkan amplop putih tebal berisi uang kepada Novi.
"Ini bukan masalah uang, Kak!" Novi menjawab setengah berseru. Lalu ia menutup mulutnya dengan tangannya, seakan telah mengucapkan hal yang salah.
"Nah..., lalu apa? Kalau bisa aku bantu, pasti aku bantu. Setidaknya kamu cerita dong kepadaku, Nov."
"Anu..., ini masalah aku dengan Ferry..."
"Oala, masa pengantin baru sudah bermasalah? Eh... tunggu, jangan-jangan... masalah hubungan intim yah?" canda Santi.
Novi hanya tertunduk dan diam seribu bahasa. Wajahnya memerah karena malu. Santi yang tidak menyangka candaannya barusan ternyata benar. Pipi Santi menjadi panas dan mulutnya ternganga, tak bisa berkata apa-apa juga.
Akhirnya Santi memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut. "Kita ini sudah dewasa, Nov. Tidak usah malu. Jadi utarakan saja masalahmu. Barangkali aku bisa kasih jalan keluar."
Semenit berlalu tanpa ada kata-kata yang keluar dari mulut Novi. Dan akhirnya Novi mengeluarkan suara. "Beberapa hari yang lalu, Ferry meminta aku untuk menghisap kemaluannya, Kak," katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.
"Lalu?" tanya Santi tidak sabar.
"Aku tidak tahu caranya. Lagipula aku jijik melakukannya. Akhirnya aku berbohong kepada Ferry bahwa aku sedang sariawan. Namun kelihatannya Ferry tahu kalau aku berbohong dan sejak hari itu ia bersikap dingin kepadaku, Kak."
"Masa kamu tidak tahu caranya? Ya tinggal dimasukkan ke dalam mulut saja," Santi menjelaskan.
"Aku sudah berpikir seperti itu juga. Tapi aku takut kalau-kalau aku salah melakukannya. Selain itu aku juga takut kalau-kalau aku menjadi mual di tengah jalan. Kalau aku berhenti tiba-tiba atau... kalau aku muntah bagaimana perasaan Ferry nantinya?"
"Hmmm..., kalau begitu sih yang harus kamu lakukan adalah latihan."
"Latihan? Dengan memakai pisang atau mentimun? Aku sudah coba, Kak. Namun semuanya itu beda," jawab Novi.
"Iya juga yah. Tapi kalau begitu...," Santi terdiam tiba-tiba.
Lalu ia bangkit berdiri dan berjalan memutari sofa sambil menimbang-nimbang sesuatu di otaknya.
"Oke. Begini deh. Hari ini hari apa yah? Oh iya, hari ini kan hari Jumat, berarti kita masih ada waktu sebelum aku berangkat ke Surabaya Senin depan. Besok sekitar jam 10 malam aku akan jemput kamu. Oke?"
"Eh, kita mau kemana? Hei, aku tidak mau melakukannya dengan gigolo yah!" ujar Novi setengah bercanda.
"Tenang saja deh. Jangan bilang apa-apa dulu ke Ferry," Santi menjelaskan.
* * *


Keesokan malamnya, sejak jam setengah sepuluh malam, Novi mulai cemas. "Apa yang sebenarnya direncanakan kakakku ini?" pikirnya terus menerus. Jam di dinding telah menunjukkan pukul sepuluh lewat 30 menit, namun belum ada tanda-tanda kedatangan Santi. Melihat gelagat aneh Novi, Ferry bertanya, "Kamu sedang menunggu siapa, Nov?"
"Eh, anu... Aku... umm.... Kak Santi...," kaget ditanya seperti itu Novi gugup dan tidak bisa memberi jawaban.
"Ada apa sih?"
"Anu... Kak Santi... dia ada masalah...," jawab Novi sekenanya. Bertepatan dengan itu, terdengar ketukan pintu depan.
"Oh untung saja, dia datang," pikir Novi dengan lega.
Ferry membukakan pintu. Lalu Novi datang menyusul.
"Fer, aku pinjam Novi sebentar yah. Ada hal yang perlu aku diskusikan secara pribadi dengan dia. Boleh, kan?" Santi bertanya dengan wajah yang serius.
"Ummm... bo-boleh saja, tapi...," Ferry menatap wajah Santi dengan bingung.
"Tenang, Fer. Kamu tidur saja. Nanti kalau sudah selesai, pasti aku akan mengantarkan Novi kembali ke mari," kata Santi sambil memaksa masuk lalu menarik Novi keluar. 
"Bye, Fer," dengan keadaan bingung Novi berpamitan dengan suaminya sambil setengah berlari menuju ke mobil Santi.
"Kenapa tidak berdiskusi di sini saja?" Ferry bertanya kepada dirinya sendiri setelah ia melihat mobil Santi berbelok ke jalan raya.
* * *


"Hahaha... kamu lihat tidak tampang Ferry?"
"Iya, tampangnya seperti orang bodoh," kata Novi.
Novi tidak dapat menahan rasa ingin tahunya lagi dan akhirnya bertanya, "Kita pergi kemana, Kak?"
"Sebentar lagi kamu juga pasti tahu."
Dua menit setelah itu, Santi membelokkan mobilnya ke jalan menuju rumahnya. Novi tambah bingung, "Ini kan...?"
Belum sempat menjawab, Santi telah memarkirkan mobilnya di pekarangan rumahnya. "Kamu tunggu di sini dulu, Nov," kata Santi sambil meraih ke kursi belakang dan mengambil beberapa kantong belanjaan.
Kurang lebih Novi menunggu selama sepuluh menit sebelum akhirnya pintu rumah Santi terbuka. Ia melihat Santi telah berganti pakaian. Santi mengenakan daster seperti yang Novi kenakan saat itu. Santi berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya. Setengah berbisik, ia berkata, "Ayo, masuk. Cepat tapi jangan bersuara, yah."
Novi hanya dapat mengikuti permainan Santi. Ia mengangkat sedikit kain daster yang ia kenakan agar tidak kotor mengenai lantai lalu melangkah dengan sigap masuk ke dalam rumah mengikuti Santi dari belakang.
Santi berpaling ke arah Novi lalu meletakkan telunjuk di bibirnya. Terdengar sayup-sayup suara musik mengalun lembut dari dalam kamar. Santi menggandeng tangan Novi lalu masuk ke dalam kamarnya bersama-sama.
Betapa terkejutnya Novi melihat Tomy, kakak iparnya, duduk di kursi dengan keadaan terikat kaki dan tangannya. Pada kepalanya terikat kain berwarna hitam yang menutupi kedua matanya. Santi langsung menahan mulut Novi dengan tangannya agar ia tidak berteriak. Dengan nada genit Santi berkata, "Aku sudah siap, Tom. Kamu sudah siap, belum?"
"Wah aku sih sudah menunggu dari tadi, San," jawab Tomy tanpa mengetahui keberadaan Novi.
Santi menarik lengan Novi secara paksa sambil berjalan menghampiri Tomy. "Baik. Karena kamu tidak bisa bergerak, jadi kamu tidak bisa berbuat banyak selain menikmati saja. Benar, kan Tom?" Santi berkata sambil mengisyaratkan Novi untuk duduk tak jauh darinya agar dapat melihat apa yang ia kerjakan.
"Oke, tapi nanti kamu akan melepaskan semua ikatan ini, kan? Kamu ga akan membiarkan aku tidur dalam posisi seperti ini, kan?"
"Hihihi... lihat saja nanti," kata Santi sambil perlahan-lahan membuka celana suaminya. Ia menurunkan celana itu sampai ke pergelangan kaki Tomy. Santi berdiri menghampiri Novi yang tidak berani melihat kakak iparnya dalam kondisi seperti itu.
Lalu ia berbisik di telinga Novi, "Nov, ini kesempatan kamu untuk memperhatikan apa yang akan aku lakukan terhadap Tomy. Jangan malu-malu, anggap saja seperti menonton film porno. Hanya saja bedanya kali ini kamu bisa melihatnya dari dekat dan secara langsung. Jadi jangan sia-siakan kesempatan ini. Karena kesempatan seperti ini tidak akan terulang lagi. Oke?"
Santi kembali berjongkok di antara kedua paha Tomy dan mulai mengelus-elus kemaluan suaminya yang masih tertutup celana dalam. Setelah 4-5 belaian, kemaluan Tomy mulai membesar. Novi memberanikan dirinya menyaksikan 'pertunjukan' yang disuguhkan oleh kakaknya.
Setelah merasa penis suaminya sudah cukup besar, Santi berhenti mengelus-elus. Dengan gerakan perlahan, ia meraih lingkar celana dalam suaminya. Sebelum menariknya ke bawah, dengan pandangan nakal, ia menoleh ke arah adiknya yang tertegun menunggu apa yang akan terjadi berikutnya.
Seperti dalam gerakan otomatis, saat Santi mulai menurunkan celana dalamnya, Tomy mengangkat pantatnya sedikit agar celana dalamnya dapat lolos dengan mudah. Tiga detik kemudian, penis Tomy sudah bebas berdiri tegak di hadapan kedua wanita ini.
Santi kembali mengelus-elus batang kemaluan suaminya dengan lembut. Dengan gerakan naik... lalu turun..., terkadang dengan gerakan melingkar.
Setelah itu Santi berdiri lagi menghampiri Novi yang sejak tadi memperhatikan semua gerakan Santi dengan seksama. Beberapa kali ia harus berkonsentrasi agar perhatiannya tidak berpindah ke penis Tomy yang seakan kian membesar.
Santi berbisik di telinga Novi, "Sebelum memulai, ada baiknya kita menggodanya supaya baik dia maupun kita sebagai istri juga siap."
Santi mulai berceloteh seperti memberi ceramah seks kepada adiknya. Padahal sehari-harinya, ia sendiri hampir tidak pernah mempraktekkan apa yang ia ajarkan kepada adiknya. "Lebih baik aku mengajarkan hal yang seharusnya dilakukan daripada main asal tubruk saja," pikirnya dalam hati.
"Ayo sekarang kamu yang coba," buat Novi bisikan itu bagaikan petir yang menggelegar di siang bolong.
"Ha?" tanpa sadar Novi mengeluarkan suara tanda tak percaya.
Serta merta Novi dan Santi menahan nafas dan menengok ke arah Tomy. Walau sebagian wajah Tomy tertutup kain hitam, namun mereka berdua dapat memastikan bahwa ia mendengar suara Novi tadi. Raut wajahnya terlihat bingung.
Tak kehabisan akal, Santi berpura-pura berdehem dan batuk. Lalu tanpa berpikir panjang, ia menarik lengan adiknya sampai hampir menyentuh penis suaminya. "Ayo cepat, sebelum aku berubah pikiran."
Dengan sedikit gemetar, Novi menyentuh kepala penis Tomy dengan ujung jari tengahnya. Pandangan Novi melekat pada penis Tomy yang berdenyut-denyut di hadapannya. Selama hidupnya ia belum pernah melihat penis laki-laki sejelas ini. Bahkan saat bersama suaminya, ia selalu melakukan hubungan seks dalam keadaan gelap. Melihat penis Tomy yang begitu haus menanti belaian seorang wanita, membuat wajah dan telinganya menjadi merah.
Setelah menarik nafas panjang, Novi menempelkan ketiga ujung jari-jari telunjuk, tengah dan manisnya di kepala penis itu. Tomy terlonjak kaget, "Wow, apa tuh? Kok dingin-dingin?"
Santi bergerak memposisikan wajahnya di samping wajah Novi lalu berkata, "Ah, kamu mau tau aja deh. Kalau dikasih tahu, kan ,jadinya ga surprise lagi?"
Santi menarik tangan Novi lalu menggenggam jemari itu. "Tangannya dingin sekali," pikir Santi. "Jangan terlalu tegang, nanti bisa-bisa ketahuan. Santai saja," bisik Santi.
Setelah itu ia menggosok-gosokkan tangannya ke tangan Novi supaya menjadi lebih hangat. Santi memberi isyarat agar Novi melanjutkan lagi.
Jantung Novi berdegup dengan kencang. Tangannya masih gemetar karena gugup. Dengan satu gerakan yang mantap, akhirnya ia mulai membelai sepanjang batang kemaluan Tomy.
"Jangan terlalu cepat. Lebih lembut sedikit," Santi memberi petunjuk.
Novi terus membelai dan mengelus. Lama kelamaan, Novi terlihat dapat menguasai teknik belaian ini dengan baik sampai akhirnya sebuah erangan keluar dari mulut Tomy yang terbuai oleh belaian Novi.
Santi terbelalak dan hampir tanpa suara berbisik pada dirinya sendiri, "Waaaaw..."
"Oke, kelihatannya kamu sudah menguasai teknik ini." Novi melempar senyum dengan perasaan tak menentu kepada kakaknya. Entah apakah ia harus bangga atau malah malu. "Sekarang kamu kembali ke samping dan perhatikan aku lagi," lanjut Santi.
Santi mendekatkan bibirnya ke batang kemaluan suaminya lalu menggesek-gesekkan bibirnya ke sepanjang penis itu secara perlahan dan lembut. Sesekali ia membuka mulutnya dan meniupkan hawa hangat melalui mulutnya. Tomy menggeliat-geliat mendapat perlakuan seperti ini.
Sekarang giliran Novi. Ia mulai dapat membiasakan diri. Kegugupan yang pada awalnya begitu jelas terlihat kini sedikit demi sedikit mulai hilang.
Novi mencoba mengikuti gerakan Santi pada penis Tomy. Bibirnya dikecupkan dengan lembut di kepala penis tersebut. Dengan lembut ia menggesekkan bibirnya ke sepanjang batang penis kakak iparnya itu. Turun lalu naik lagi. Begitu seterusnya. Sesekali Novi juga menghembuskan hawa hangat dari mulutnya. Tomy kembali menggeliat-geliat menahan gejolak birahi dalam dirinya. Perlahan-lahan Novi menutup kedua matanya sambil meneruskan sentuhan-sentuhan bibirnya pada penis itu. Lalu Novi mengelus-elus batang penis itu dengan pipinya. Pertama yang kiri kemudian berpindah dengan perlahan ke pipi yang kanan. Novi sudah terbawa suasana.
Melihat hal ini, Santi sedikit terkejut. Ia tidak terlalu terganggu dengan kelakuan adiknya itu. Namun yang mengganggu pikirannya adalah bahwa kelihatannya Tomy lebih terbuai oleh permainan Novi daripada sentuhan yang ia berikan.
Belum selesai pikirannya menerawang lebih jauh, Santi dikejutkan oleh Novi yang membuka besar-besar mulutnya yang mungil itu. Detik berikutnya kepala penis Tomy sudah dilahap masuk ke dalam mulut Novi. Dengan gerakan refleks, Santi menyenggol lengan Novi. Novi membuka matanya seperti baru terbangun dari lamunan. Novi mendapati Santi sedang menatapnya dengan pandangan tak percaya.
Langsung saja Novi bangkit berdiri dan berusaha menjelaskan apa yang baru terjadi. Santi juga tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Apakah ia harus marah atau malah bangga melihat keberhasilan adiknya mengatasi rasa takutnya, ia sama sekali bingung. Setelah menghela nafas, Santi tersenyum kepada adiknya. "Ga kenapa-kenapa, Nov. Aku hanya kaget saja melihat kamu langsung menelan kemaluan Tomy begitu saja. Ayo kita lanjutkan lagi," bisik Santi.
Santi kembali berjongkok di antara paha Tomy dan membuka mulutnya. Sebelum melanjutkannya, Santi melirik ke arah Novi yang sedang memperhatikannya dengan seksama. Santi menjulurkan lidahnya lalu dengan lembut menjilat kepala penis tersebut. Setelah beberapa menit menjilatinya, Santi melanjutkan dengan menjilati buah pelir suaminya. Tomy menggeliat-geliat lagi. Novi tersenyum melihat respon yang diberikan Tomy atas perlakuan istrinya.
Kemudian Santi memasukkan penis Tomy ke dalam mulutnya. Pertama hanya bagian kepalanya. Dengan lembut kepala penis itu dikemutnya. Lalu ia mundur sejenak dan berbisik kepada Novi, "Kamu harus menggunakan lidah kamu pada waktu penis berada di dalam mulutmu. Mengerti? Kamu akan melihat bagaimana reaksi dia saat aku bermain-main dengan lidahku."
Santi kembali mengulum penis Tomy. Dengan penis di dalam mulutnya, Santi menengok ke arah Novi seperti memberi isyarat bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Detik berikutnya, Tomy mengerang sambil menarik kepalanya ke belakang dan membusungkan dadanya. Dan begitu pula detik-detik selanjutnya, Tomy terus menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan dan sesekali erangan terdengar keluar dari mulutnya.
Makin lama deru nafas Tomy semakin cepat. Begitu pula dengan nafas Santi. Keduanya seperti berpacu untuk meraup udara masuk ke dalam paru-paru mereka. Santi berhenti dan berkata dengan suara yang mendesah, "Aku akan buka ikatan tanganmu. Tapi kamu tidak boleh membuka penutup mata kamu. Oke?"
Tomy tidak dapat mengeluarkan suara dan hanya mengangguk dengan cepat. Santi segera melepaskan ikatan pada kedua tangan Tomy, lalu melanjutkan dengan mengulum penis suaminya lagi. Tomy terlihat lebih rileks dengan kedua tangannya dapat diletakkan di mana saja ia inginkan. Dan Tomy meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya.
Lima menit berlalu begitu cepat bagi Novi yang tanpa sedetikpun melepaskan pandangannya dari mulut Santi yang bertubi-tubi melahap batang penis itu. Dengan tangan kanannya, Tomy membelai dengan lembut rambut Santi.
Santi menghentikan hisapan pada penis Tomy dan berkata kepadanya, "Sebentar yah, Tom. Jangan bergerak sama sekali."
Lalu Santi menyuruh Novi untuk menggantikan posisinya lagi. "Oke, sekarang giliran kamu untuk memperlihatkan apa yang sudah kamu pelajari," terdengar ada sedikit nada mengejek dalam kalimat itu.
Tanpa berpikir macam-macam, Novi berlutut di antara paha Tomy dan memulai serangannya. Sama seperti Santi, Novi juga memulai dengan menjilati kepala penis Tomy. Novi sudah semakin menguasai permainan ini. Ia terlihat lebih berani dalam melakukan manuver-manuver yang sensual, seakan ingin memperlihatkan kemampuannya kepada Santi dan kepada Tomy (walau ia tidak dapat melihatnya).
Setelah menjilati penisnya, Novi berpindah ke buah zakar Tomy. Dua menit setelah itu, Novi menutup matanya dan menarik nafas panjang. Lalu dengan mata terpejam, ia membuka mulutnya dan memasukkan kepala penis itu ke dalam mulutnya. Dikemut dan dikulumnya kepala penis itu. Tak lama setelah itu, tiba-tiba saja Tomy terlonjak dan mengerang cukup keras. Kedua tangannya ditekankan ke bagian belakang kepala Novi. Santi tahu apa yang baru saja terjadi. Selama ini hanya ia yang tahu titik sensitif Tomy, namun malam ini rupanya Novi tanpa sengaja menjelajahi daerah emas itu.
"Ooohhh...," lirih Tomy setelah Novi terdiam karena kepalanya ditekan oleh kedua tangan Tomy. Tangan Tomy mulai membelai-belai rambut Novi. Dan sangat kebetulan Novi dan Santi mempunyai panjang rambut yang sama sehingga Tomy sama sekali tidak dapat membedakan antara keduanya. Novi kembali mengulum penis Tomy sambil memain-mainkan lidahnya.
Tak lama kemudian, Tomy kembali mengejang dengan menarik kepalanya ke belakang dan membusungkan dadanya. Ini kedua kalinya tanpa sengaja Novi mengenai titik sensitif Tomy. Novi terdiam sejenak sebelum meneruskan permainannya. Novi belajar dengan cepat lalu dengan lembut ia menyapu lagi titik sensitif Tomy dengan lidahnya. Tomy kembali mengejang sambil mengerang.
Santi takjub melihat permainan Novi yang tergolong hebat untuk kategori pemula. Setidaknya ia sudah dapat mengatasi rasa jijiknya terhadap penis.
Dalam lamunannya Santi kembali masuk ke dunia nyata setelah mendengar desahan yang keluar dari mulut Novi. Lagi-lagi ia dikejutkan dengan pemandangan di depannya. Kedua tangan Tomy sudah masuk ke dalam daster Novi. Tangan-tangan nakal itu sedang berusaha menyelinap masuk ke dalam BH yang dikenakan Novi. Novi berusaha menghindari tangan Tomy namun ia masih terus menjilati titik sensitifnya.
Santi bergerak maju untuk menarik tubuh adiknya agar tangan suaminya tidak mencapai payudara Novi. Belum lagi sempat meraih pundak Novi, Santi melihat tubuh suaminya menggelinjang yang diikuti dengan teriakan yang cukup keras. Setelah itu Santi mendengar suara orang tersedak, "BRMPHZPHH!"
"Ohoug! Ohoeg!!" Novi terbatuk. Novi mengatupkan mulutnya dengan cairan sperma meleleh dari kedua ujung bibirnya dan sebagian dari hidungnya. Novi berusaha menadahkan tangannya di bawah dagunya agar lelehan sperma Tomy tidak terjatuh di lantai kamar sementara ia tidak menelan cairan sperma yang masih di mulutnya.
Santi hanya dapat melotot melihat semua ini. Tidak pernah suaminya mencapai klimaks secepat ini. Namun ia harus segera bertindak karena permainan sudah selesai. Ia berpikir cepat lalu menarik adiknya dan menyuruhnya membersihkan dirinya di WC tamu di luar.
Baru saja Novi melangkahkan kakinya menuju ke pintu kamar, Santi teringat akan sesuatu dan kembali menarik tangan Novi. "Cepat! Kasih kepadaku! Cepat!" bisik Santi tak sabar.
Melihat Novi yang tidak mengerti apa yang ia katakan, Santi menunjuk-nunjuk ke arah mulut Novi, "Itu yang di mulutmu! Cepat!"
Novi mulai mengerti maksud dan tujuan Santi yang meminta sperma Tomy dari mulutnya. Namun Novi malah semakin gugup dan bingung karena tidak tahu harus berbuat apa.
Tanpa membuang waktu, Santi langsung menarik tubuh Novi lalu mengatupkan mulutnya ke mulut Novi. Novi secara refleks malah menutup rapat bibirnya. Santi akhirnya berhasil membuka mulut Novi setelah menggunakan lidahnya menyeruak masuk ke antara bibir mungil itu. Santi mulai menyedot cairan sperma suaminya dari mulut adiknya. Dengan bantuan lidah mereka berdua yang aktif meliuk-liuk untuk mentransfer lelehan sperma Tomy, proses itu berlangsung cukup cepat. 
Akhirnya Santi melepaskan mulutnya dari mulut Novi. Novi masih terbelalak memandangi Santi yang baru saja 'menciumnya'.
Santi berdiri di hadapannya dengan nafas tersengal dan puting susu yang terlihat menonjol dari balik dasternya. Mereka berdua saling bertatapan. "Apa yang baru aku lakukan?!" pikir Santi dalam hati.
"San, kamu kemana?" terdengar suara Tomy memanggil dengan pelan.
Santi langsung berbalik dan sengaja melelehkan cairan sperma yang diperoleh sedapatnya dari mulut Novi keluar dari kedua sisi mulutnya lalu duduk di pangkuan Tomy.
"Uhuk! Uhuk! Aduh, Tom! **annya kenceng banget sih! Sampai tersedak nih!" Santi bersandiwara.
Santi menengok sebentar untuk melihat apakah Novi sudah keluar. Setelah memastikan hanya mereka berdua di dalam kamar itu, Santi membuka penutup mata Tomy.
"Bagaimana, Tom?"
Tomy menatap mata Santi dalam-dalam sejenak lalu tersenyum. "Luar biasa, San!" Tomy memeluk tubuh Santi erat-erat dan Santi juga balas memeluknya. Sambil mengelus-elus punggung Santi ia berkata, "Terima kasih, ya, San."
"Ah pakai acara berterima kasih segala. Sudah hakikatnya seorang istri melayani suami, iya kan?"
Tomy hanya mengangguk.
Novi masuk ke WC. Ia membasuh wajah dan berkumur beberapa kali. Walaupun cairan sperma yang tertelan oleh Novi tidak banyak namun perasaan mual sudah memenuhi otaknya. Akhirnya Novi muntah di wastafel. Tubuhnya menjadi sangat lemas tak bertenaga. Novi terduduk di lantai selama beberapa menit kemudian ia terlelap.
Sekitar pukul 12 malam, Santi membangunkan Novi. "Nov, ayo bangun. Aku antar kamu pulang," katanya sambil mengguncang-guncangkan bahunya.
"Ferry pasti cemas menunggu kamu di rumah."
Novi yang baru bangun tidak menjawab. Tanpa perlawanan ia membiarkan dirinya dibimbing oleh Santi ke luar rumah dan masuk ke mobil. Tak lama setelah itu, mereka berdua telah melaju pulang ke rumah Novi.

Keesokan paginya saat Tomy sedang di kamar mandi, Santi menelpon Novi.

Santi: Halo?
Novi : Halo.
Santi: Nov, Ferry ada di sana?
Novi : Enggak. Memangnya kenapa?
Santi: Oh, aku tidak mau Ferry mendengar pembicaraan kamu.
Jadi, bagaimana kemarin malam?
Apa saja yang Ferry tanyakan?
Novi : Aduh, untung deh, Ka Santi.
Waktu aku masuk ke kamar,
Ferry ternyata sudah tertidur
pulas.
Dan tadi pagi aku bertanya kepadanya: kapan kamu tidur?
Dia jawab: nggak tau yah, lupa. Hahaha...
Santi: Wah, untunglah kalau begitu.
Aku khawatir kamu mendapat masalah.
Novi : Tapi kok dia tidak menanyakan kapan aku pulang yah?
Santi: Masa? Jangan-jangan dia tahu kapan kamu pulang.
Novi : Ah, aku yakin kemarin waktu aku masuk ke kamar,
dia sedang tertidur pulas.
[ Mereka berdua terdiam sejenak ]
Novi : Terima kasih, Kak.
Santi: Sama-sama, Nov. Aku senang kamu sudah bisa mengatasi
rasa jijik kamu.
(Novi terdiam)
Novi : Umm..., sebenarnya masih belum, Kak.
Santi: Maksud kamu?
Novi : Kemarin setelah keluar dari kamar Ka Santi,
aku muntah di WC.
Santi: Oh ya? Lalu?
Novi : Iya. Dan setelah aku sampai di rumahku,
aku berniat untuk mempraktekkan
apa yang baru aku pelajari.
Aku pikir mumpung Ferry sedang tertidur,
mungkin tekanan dalam diriku lebih berkurang.
Tapi jangankan dimasukkan ke dalam mulut,
baru melihatnya saja aku sudah mual.
Mungkin karena trauma kemarin muntah itu, Ka Santi.
Santi: Tapi kemarin kelihatannya kamu begitu...? ...
Kok... bisa...? Jadi...?
Novi : Aku juga tidak tahu, Kak. Maafkan aku, Kak.
Aku memang istri yang tak berguna.
Santi: Hush! Jangan ngomong seperti itu.
Kamu hanya butuh waktu dan latihan.
Jadi tidak perlu khawatir.
Begini, deh. Nanti malam, kamu persiapkan Ferry
seperti aku menyiapkan Tomy kemarin.
Novi : Apa??
Santi: Iya, siapkan semuanya sebelum aku datang.
Jam berapa yah aku bisa datang?
Hmmm...
Baik, jam 10 malam aku akan datang ke rumahmu. Oke?
Malam ini yah.
Hei, Tomy sudah keluar dari kamar mandi, nih.
Sampai nanti ya, Nov.

Novi berusaha untuk menjawab namun Santi sudah meletakkan gagang teleponnya. Novi tidak habis pikir Santi memberikan ide seperti itu. "Bagaimana aku melakukannya di depan kakakku? Bukannya malah tambah risih? Tapi, kemarin pun aku melakukannya di depan Ka Santi. Apa yang membuatku jadi enggan melakukannya sekarang yah?" Semua pertanyaan ini bermunculan silih berganti di dalam otak Novi.
Pukul 10 kurang 10 menit, Novi merangkul bahu Ferry. "Fer, malam ini aku ingin mencobanya."
"Mencoba apa?"
"Itu, lho..., ah, kamu jangan berlagak bodoh."
"Sungguh, aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan."
Novi menundukkan kepalanya lalu berkata dengan suara pelan, "Oral seks."
"Benar kamu ingin melakukannya? Kalau kamu belum siap untuk melakukannya, aku juga tidak bermasalah kok, Nov."
"Sungguh, Fer. Setidaknya biarkan aku mencobanya malam ini. Tapi...,"
"Tapi apa?"
"Aku akan mengikat tangan dan kaki kamu di kursi dan juga akan menutup mata kamu dengan kain. Bagaimana?"
"Ooo, jadi aku tidak boleh melihat dan bergerak? Begitu?"
"Oh iya, kamu juga tidak boleh mendengar apa-apa. Aku akan pasang headphone di telinga kamu. Oke?"
"Terserah kamu deh, Nov," jawaban ini merupakan penutup dari pembicaraan mereka.
Novi segera keluar dari kamar. Ia melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul sepuluh tepat. Ia mengintip ke jendela untuk melihat apakah Santi sudah datang. Rupanya belum. Novi bergegas mengambil beberapa helai kain untuk digunakan sebagai pengikat dan penutup mata.
Saat masuk ke kamar, Novi mendapati suaminya sudah siap dengan keadaan telanjang duduk di kursi dekat ranjang mereka. Novi tersipu malu sedangkan Ferry hanya balas tersenyum.
Novi menghampiri Ferry lalu mulai mengikat tangannya. Setelah itu ia mengikat kedua kakinya dan mengikat kain hitam di sekeliling matanya.
Novi berlari menyalakan musik karena ia tidak ingin Ferry mendengar suara mobil Santi yang mungkin sebentar lagi akan tiba. Setelah memasang CD lagu klasik, ia menggunakan headphone yang terhubung dengan stereo system di kamarnya untuk menutupi telinga Ferry.
Novi memandangi suaminya yang dalam keadaan telanjang bulat terikat di kursi dan dengan penutup mata terikat di sekeliling kepalanya. Dengan penuh harap cemas Ferry menunggu tak bergeming. Namun karena pikirannya terus memikirkan apa yang akan terjadi, penis Ferry mulai mengalami perubahan.
Novi melihat perubahan yang terjadi. Penis itu mulai bergerak seperti mengangguk-angguk. Sedikit demi sedikit besarnya semakin bertambah sampai akhirnya tidak bertambah besar lagi. Pada saat itu, Novi mendengar suara mesin mobil memasuki halaman rumahnya.
Ia bergegas ke luar kamar dengan menjaga agar gerakannya tidak diketahui oleh Ferry. Setelah dibukakan pintu, Santi masuk ke ruang tamu. Belum sempat Santi melangkah lebih jauh, Novi membuka suara, "Aku jadi tidak begitu yakin akan semua ini, Kak."
"Lho kenapa? Apakah Ferry tidak bisa diajak kerja sama? Di mana dia sekarang?" tanya Santi.
"Dia ada di dalam kamar. Tapi bukan itu maksudku."
"Apakah dia sudah tidur?"
"Belum."
"Apakah kamu sudah mengikat dan menutup matanya?" tanya Santi lagi.
"Sudah."
"Lalu tunggu apa lagi?" katanya sambil masuk ke dalam kamar.
Novi tidak sempat mencegahnya lagipula ia tidak ingin menimbulkan banyak kebisingan karena takut kalau-kalau suara mereka masih terdengar di balik suara musik dari headphone.
Melihat adik iparnya berada dalam kondisi yang vulgar, Santi hampir saja berteriak dan langsung memalingkan wajahnya secara refleks. Perlahan-lahan Santi meluruskan pandangannya ke depan lalu berbisik ke Novi, "Hei, kamu lupa pasang musik, yah?"
"Aku memasang CD instrumental klasik dan menggunakan headphone di telinganya."
"Oh, aku kaget karena baru tersadar tidak mendengar suara musik sama sekali. Oke, kamu bisa memulainya. Kalau tidak dia pasti bingung kenapa kamu belum memulainya juga."
"O,o, b-baik...," Novi tergagap.
Novi berjongkok di antara paha Ferry. Novi memulainya dengan membelai dengan lembut penis suaminya itu. Mulai dari bagian kepala turun sampai ke pangkal penisnya lalu naik lagi dengan perlahan. Turun, naik, turun, naik. Tidak lama setelah itu, tubuh Ferry sudah memberi respon. Otot-otot perutnya menegang dan penisnya terlihat semakin mengeras. Urat-urat nadi di sepanjang penisnya terlihat menonjol.
Perhatian Santi melekat pada tubuh Ferry. Diam-diam Santi mengagumi bentuk tubuh adik iparnya. Tubuh Ferry memang jauh lebih atletis di banding Tomy, suaminya. Namun penis Ferry terlihat lebih ramping dan lebih pendek dibanding penis suaminya.
Ini merupakan pertama kalinya buat Santi melihat secara langsung penis lain selain penis Tomy. Penis Ferry terlihat sangat gelap karena sudah dipenuhi darah yang mengalir deras akibat dorongan birahi dalam dirinya.
Novi menempelkan bibirnya di kepala penis Ferry lalu menggesek-gesekkannya ke sepanjang batang penis itu. Ferry mendesah dengan cukup keras. Tubuhnya menggeliat-geliat seakan sedang berusaha melepaskan ikatan pada tangan dan kakinya.
Dari kepala penis Ferry keluar lelehan cairan bening yang keluar secara normal pada saat tubuh pria sudah siap melakukan penetrasi. Santi kaget melihat banyaknya cairan yang keluar. "Sungguh berbeda dengan Tomy," pikirnya dalam hati.
Sampai saat itu, Santi masih melihat bahwa semuanya berjalan dengan lancar. Namun keadaan ini tidak berlanjut lama.
Novi mulai masuk ke tahap berikutnya. Ia membuka mulutnya lalu menjulurkan lidahnya. Novi menjilat kepala penis Ferry yang sudah basah oleh cairan pelumas dari tubuhnya sendiri. Satu jilatan, dua jilatan, dan pada jilatan ke tiga Novi berhenti lalu berpaling ke Santi.
"Aku tidak bisa, Kak. Aku tidak bisa melakukannya," bisiknya.
"Ayo, kamu pasti bisa. Sudah sampai sejauh ini, pasti kamu bisa."
"Aku..., aku merasa ingin muntah, Kak," bisiknya dengan mata berkaca-kaca.
"Tarik nafas dalam-dalam. Ayo, tarik nafas yang dalam," Santi berusaha menengangkan Novi.
Novi menarik nafas dalam-dalam namun dalam otaknya terus berkecamuk perasaan mual itu. "Aku tidak bisa (hmmph)...," katanya lagi sambil bangkit berdiri. Tangan kanannya menahan mulutnya lalu bergegas ke WC meninggalkan Santi berduaan dengan Ferry di kamarnya.
Santi tidak tahu harus berbuat apa. Tapi instingnya mengatakan bahwa ia harus membantu adiknya. Santi bangkit berdiri dan berjalan keluar kamar. Belum sempat Santi sampai ke pintu, Novi sudah masuk ke dalam kamar lagi.
"Aku sungguh tidak sanggup melakukannya, Kak..," bisiknya sambil terisak. Air mata sudah mengalir dari matanya. Santi memeluk Novi dan membelai rambutnya untuk menenangkannya.
"Tidak apa-apa, Nov. Tidak apa-apa..., kita masih bisa mencobanya lain kali," Santi berbisik dengan nada datar.
"Tapi bagaimana dengan Ferry sekarang? Aku tidak mungkin membiarkannya seperti ini, kan?"
Santi menoleh melihat ke arah Ferry. Penisnya berdenyut-denyut menanti belaian dari sang istri.
"Kamu lanjutkan saja dengan make-love seperti biasanya dan aku akan pergi dari sini," jawab Santi.
"Tapi aku tidak ingin membuat Ferry kecewa, Kak. Aku sudah menjanjikannya oral seks hari ini."
"Aku yakin Ferry pasti mengerti. Jangan takut, deh."
"Iya tapi Ka Santi tidak harus menghadapi tatapan Ferry yang kecewa. Aku tidak akan berani memandangnya lagi, Kak," isak Novi berlanjut.
Sambil mendekap Novi, Santi masih membelai-belai rambutnya. Ia berpikir keras mencari jalan keluarnya.
Lalu Santi mendorong pundak Novi agar ia dapat menatap wajahnya. Santi menatap dalam-dalam kedua mata Novi. Ia tidak melihat apa-apa selain keputusasaan.
Dengan langkah perlahan namun pasti, Santi berbalik dan menghampiri Ferry. Novi masih tenggelam dalam kesedihannya sendiri dan tidak sadar apa yang hendak Santi lakukan.
Santi berjongkok di hadapan penis Ferry. Penis Ferry berdenyut lalu melelehkan cairan pelumas lagi tepat di hadapannya. Santi menutup matanya, meraih batang penis adik iparnya itu, lalu membuka mulutnya.
Lingkar mulutnya memayungi kepala penis Ferry lalu Santi menyodorkan lidahnya keluar menyentuh kepala penis tersebut.
Baru menyadari apa yang sedang diperbuat kakaknya, Novi segera menarik bahu Santi. "Ka Santi sedang apa?!" tanyanya penuh kebingungan.
Santi berbisik lembut sambil meneteskan air matanya, "Aku sedang melakukan apa yang harus aku lakukan. Jadi jangan ganggu aku, yah?" Air mata Santi berderai. Ia tahu bahwa Novi mungkin tidak setuju dengan apa yang ia lakukan dan sudah pasti berusaha untuk mencegahnya. Namun jika Santi membuat seakan-akan semua ini ada di luar kemampuan Novi untuk mencegahnya, mungkin Novi akan lebih mudah menerimanya.
"Semakin cepat aku buat dia ejakulasi, semakin cepat semua ini berakhir," pikir Santi.
Tanpa berpikir banyak, Santi menjebloskan penis Ferry masuk ke dalam mulutnya. Santi yang sudah ahli, tahu bagaimana memperlakukan lelaki. Santi memulainya dengan lembut dan penuh perasaan. Mata Novi melotot dan mulutnya ternganga melihat kakaknya melahap penis suaminya.
Ferry menggelinjang lalu mengerang panjang. "Wah, dia menyukainya," pikir Novi.
Lidah Santi mulai bergerilya dibalik tangkupan bibir mungilnya itu. Dan nafas Ferry semakin memburu. Santi menggunakan jemarinya untuk bermain dengan buah zakar Ferry. Desahan-desahan Ferry terdengar semakin cepat dan semakin keras.
Dengan menggunakan tangannya yang masih bebas, Santi mulai mengocok batang penis itu. Mulut, bibir dan lidahnya masih menari-nari memberikan sensasi tiada tara pada penis Ferry yang sudah menjadi sangat sensitif itu.
Lalu Santi menggerakkan kepalanya naik turun. Tangannya bermain dengan batang penis dan testis Ferry. Lidahnya terus membalut kepala penis Ferry tanpa henti. Santi mulai ikut mendesah. Tanpa sengaja ia juga ikut terbakar dalam nafsu birahi yang ia ciptakan untuk Ferry.
Saat itu ia baru tersadar bahwa penis yang masuk ke dalam mulutnya tersebut bukanlah penis suaminya. Penis itu tak lain milik lelaki lain yang ternyata adalah adik iparnya sendiri. Timbul secercah perasaan binal dalam hatinya. Hal ini justru malah membuat Santi merasa seksi. Payudaranya mulai mengencang terutama pada bagian puting. Vaginanya juga turut berdenyut dan terasa panas.
Perlahan-lahan ia merasakan cairan dalam tubuhnya pun ikut meleleh dan merembes ke seluruh permukaan liang kewanitaannya. Wajahnya terasa panas. Bahkan kini seluruh tubuhnya terasa panas. Gelora birahi yang dirasakannya saat itu sangat berbeda dengan gejolak yang ia rasakan saat bersama suaminya. "Inikah gejolak birahi yang terlarang?" pikirnya lagi.
Novi hanya dapat menunggu dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa cemburu. Di sisi lain, ia ingin agar suaminya dipuaskan. Di satu sisi, ia melihat ini sebagai perselingkuhan. Namun di sisi lain, ia justru tidak yakin apakah ini dapat disebut selingkuh berhubung suaminya justru mengira bahwa istrinya sendirilah yang sedang mengoralnya.
Desahan Ferry dan Santi terdengar seperti saling bersahutan.
"Hhhhhh...." "Ooohhhh...." "Hmmmhhhhh...." "Uuuuhhhh"
Tiba-tiba Ferry berteriak, "Arrrgghhh!!!" Secara serentak seluruh otot tubuhnya terlihat menonjol kemudian tubuhnya bergelinjang.
Santi merasakan **an pertama dari sperma Ferry. **an itu seperti ledakan lahar gunung berapi, begitu kental dan terasa hangat menghajar langit-langit mulutnya. **an demi **an terus menghujani mulut Santi. Dan tanpa sadar ia menelan cairan itu.
Santi kaget. Ini pertama kalinya ia menelan sperma laki-laki. Walaupun sejak berpacaran, Santi sudah sering memberikan oral seks kepada Tomy namun baru kali inilah ia benar-benar meneguk cairan lambang keperkasaan lelaki. Ia sudah tahu bahwa cairan sperma yang terasa asin itu tak lain adalah kumpulan protein (yang sering didengungkan dapat menghaluskan kulit wajah). Akan tetapi tetap saja ia enggan untuk menelan sperma suaminya dengan alasan kebersihan atau kesehatan.
Namun kali ini berbeda. Bukan saja satu tegukan, melainkan Santi meneguknya lagi, lagi dan lagi sampai semuanya habis disedotnya dari saluran penis Ferry. Birahi yang kali ini ia rasakan seakan membangunkan karakter perempuan binal yang sedang tertidur di dalam dirinya.
Hanya membutuhkan waktu satu menit lebih, sejak Santi mulai menghisap penis Ferry sampai ia berejakulasi. Tidak lebih dari dua menit. Novi keheranan melihat kejadian yang begitu cepat. Ia juga heran kemana perginya semua sperma Ferry dan tak habis pikir Santi sampai menelan semua tetes sperma suaminya.
Lalu Santi mengeluarkan penis Ferry yang masih keras dan besar itu dari dalam mulutnya. Santi membuka kedua matanya. Ia takjub melihat penis Ferry yang masih keras dan besar itu. Memang biasanya setelah berejakulasi, seorang pria pasti akan kehilangan ereksinya dan baru bisa kembali berereksi setelah beberapa saat. Namun penis Ferry masih tegak berdiri dengan lantang di hadapan wajahnya. Lalu tiba-tiba penis Ferry berkejut dan memuntahkan cairan sperma yang terakhir sekali lagi. Cairan itu jatuh ke atas baju Santi.
Santi terkekeh lalu berbisik kepada Novi, "Oke, tugasku sudah selesai. Sekarang tinggal kamu yang menyelesaikan semua ini. Aku pulang, yah?"
"Oh iya jangan lupa besok kamu harus datang ke rumahku untuk menjaga Kirani. Oke?" Santi mengingatkan Novi sebelum ia keluar dari kamar.
Novi yang pikirannya belum sepenuhnya kembali ke alam nyata hanya bisa mengangguk dengan mulut yang terus menganga sejak tadi.
Novi berpikir keras apa yang harus ia kerjakan sekarang agar Ferry tidak curiga sedikitpun atas apa yang baru saja berlalu. Santi, kakak kandungnya sendiri, menggantikan posisinya sebagai istri Ferry dalam melayani suaminya secara badaniah. Memang saat itu mata Ferry ditutup oleh kain hitam dan kedua telinganya ditutup dengan headphone yang mengalunkan musik instrumental klasik. Namun Novi terus mencari kemungkinan celah bobolnya rahasia ini.
Novi masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamar lalu membuka keran air di wastafel. Ia menadahkan air di tangannya lalu berkumur beberapa kali. Setelah itu Novi keluar menghampiri suaminya yang duduk terkulai lemas setelah seluruh energi keperkasaannya disedot Santi.
Novi melepaskan headphone dari kepala Ferry lalu membuka ikatan kain hitam yang menutup kedua matanya. Kedua mata Ferry terpejam dan Novi melihat beberapa kerutan di antara alis matanya. Raut wajahnya terlihat begitu lepas walau masih terbesit sedikit kelelahan juga.
Saat bibir Novi menyentuh bibirnya, Ferry membuka matanya. Karena sekian lama matanya tertutup gelap, Ferry harus memicingkan matanya saat cahaya kamar yang terang menghujani kornea matanya. Matanya berkedip-kedip beberapa saat. Setelah dapat melihat dengan normal, Ferry melepaskan ciumannya dengan Novi.
"Wah, Nov. Aku ngga nyangka kamu bisa melakukannya. Bukan hanya itu, bahkan melakukan dengan mahir."
Hati Novi menjadi kecewa karena ia tahu kepuasan seks yang baru saja didapat suaminya berasal dari Santi, bukan dari dirinya. Namun demikian Novi mencoba untuk tersenyum lalu melingkarkan kedua lengannya di leher suaminya.
"Aku masih harus belajar banyak," kata Novi tidak ingin berdusta.
"Ah, omong kosong. Dengan kemahiran seperti itu aku tidak yakin apakah kamu perlu belajar lagi," Ferry berkata sambil menempelkan hidungnya dengan hidung Novi.
"Kamu bisa aja deh, Fer."
"Tapi aku jadi ingin tahu...," Ferry menghentikan kalimatnya.
Ferry sebenarnya ingin menanyakan dari mana Novi belajar melakukan oral seks. Karena dari sepengetahuannya, sejak pertama kali mengenal Novi di SMA, Novi termasuk gadis alim. Novi termasuk murid berprestasi karena selain pintar ia juga rajin. Walau memakai kacamata, kecantikan Novi tidak dapat ditutupi. Banyak teman laki-lakinya yang mengejarnya. Singkat kata, Novi adalah primadona sekolah.
Walaupun dirinya bukan pacar Novi yang pertama, namun Ferry yakin Novi belum pernah melakukan hal-hal semacam ini dengan pacar-pacar terdahulunya. Pada malam pertama mereka, Ferry mendapati Novi masih perawan (dari darah yang keluar dari liang kewanitaannya). Jadi Ferry benar-benar tidak dapat mengira-ngira sedikitpun darimana Novi belajar melakukan oral seks. Dan Ferry mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Novi yang dapat membaca arah pikiran Ferry segera bangkit dan menjawab nakal, “Ada deh.” Novi tidak ingin memperpanjang hal ini sehingga ia mengganti topik pembicaraan, “Besok pagi-pagi jangan lupa antar aku ke rumah Ka Santi, yah.”
Ferry yang juga tidak ingin memperdalam penyelidikannya terhadap masalah tadi menjawab, “Oh, iya. Dia besok keluar kota yah? Kenapa mereka tidak mencari suster baru saja sih?”
“Ka Santi mendadak mendapat dinas ke luar kota. Dan kebetulan sekali suster yang mereka pakai sekarang harus pulang menjenguk orang tuanya yang sakit. Lagipula hanya tiga hari saja kok. Ka Santi sudah sering menolongku,” kata-kata Novi terhenti sejenak sementara pikirannya kembali menerawang pada ‘bantuan’ Santi dalam dua hari ini, “dan aku rasa sudah sepantasnya jika aku membalas kebaikannya.”
“Selain itu, dia itu kakakku satu-satunya. Kalau bukan aku, siapa lagi yang dapat dia harapkan?”
“Yah terserah kamu, deh,” jawab Ferry. “Kalau begitu lebih baik kita tidur sekarang. Jam berapa kita harus tiba di rumah mereka?”
“Jam tujuh pagi.”

“Kamu ikut turun dong, Fer. Kamu ini seperti orang luar saja. Ini kan keluargamu juga,” wajah Novi cemberut karena Ferry enggan turun dari mobil.
“Baik, baik. Aku ikut turun. Tapi aku tidak janji bisa bertandang lama. Aku harus pergi kerja,” kata Ferry dengan wajah yang sengaja dibuat ikut cemberut.
“Sekarang kan baru jam 7 kurang 5 menit. Setiap hari kamu berangkat kerja hampir jam 9 dan itu berarti dua jam lagi. Jangan cari-cari alasan, deh,” kata Novi sambil mencubit lengan Ferry dengan manja.
Novi menekan bel dan tak lama pintu depan dibuka oleh Santi. Pagi itu Santi sangat terlihat cantik, bahkan Novi dan Ferry merasa Santi bertambah cantik. Santi mengenakan padanan blazer dan rok pendek berwarna merah menyala. Di dalam blazer itu, Santi mengenakan camisole berwarna putih. Rambutnya yang panjang disanggul sehingga menonjolkan keindahan lehernya yang jenjang.
“Hai, Nov, Fer. Terima kasih yah, Fer, sudah mau mengantarkan Novi ke mari,” kata Santi sambil meletakkan tangannya di bahu Ferry.
Novi melirik sekilas ke tangan Santi yang masih berada di atas bahu suaminya lalu memandang kakaknya. Novi hampir tidak dapat mempercayai penglihatannya saat Santi tanpa sadar memberikan tatapan menggoda pada Ferry. Santi membasahi bibirnya dengan lidahnya tanpa melepaskan tatapannya pada Ferry.
Novi menyentuh lengan Santi sambil berkata, “Ah, sudah menjadi kewajiban dia kok sebagai suamiku.”
Seperti terkejut dari lamunan, Santi menarik tangannya lalu tersipu memalingkan wajahnya dari Ferry dan terutama dari Novi.
“Ka Santi baik-baik saja?” tanya Novi.
“Aku baik-baik saja. Hanya sedikit tegang dengan tugas dinas seperti ini,” kali ini Santi berkata sambil tersenyum menatap adiknya.
Kemudian Santi mengajak Novi ke dapur untuk memberi tahu letak semua yang ia butuhkan untuk memasak. Tomy mengajak Ferry bergabung untuk menikmati sarapan. Ferry menolak dengan sopan, “Novi sudah menyiapkan sarapan untukku di rumah. Thanks, Tom.”
Setelah memberi tahu semua informasi yang dibutuhkan oleh Novi, Santi mengajak Novi untuk duduk di ruang tamu di mana Tomy dan Ferry sedang mengobrol tentang pertandingan tinju hari Minggu kemarin.
“Jadi jam berapa kamu berangkat, Kak?” tanya Novi.
“Sebentar lagi rekan kerjaku akan datang menjemput. Jam setengah delapan.”
“Wah baik sekali dia mau menjemput?”
“Oh dari sini kami akan langsung ke airport. Jadi aku tidak sendirian kali ini,” jawab Santi.
Walau Novi dan Santi sedang mengobrol berdua, namun Ferry dapat mendengar pembicaraan mereka. “Jadi rekan kerjamu ini laki-laki, yah?”
Santi menoleh ke Ferry untuk menjawab pertanyaannya. Saat ia menatap wajah Ferry, kejadian kemarin malam di kamar Novi kembali berkelebatan dalam otaknya. Langsung saja wajah Santi terasa panas. Kedua pipinya merona merah.
“Oh, iya. Namanya Hermanto. Tahu dari mana kalau teman kerjaku ini laki-laki?”
Semua yang ada di ruangan itu mengira Santi tersipu karena ketahuan pergi berdua dengan pria, teman kerjanya. “Ah aku cuma menebak saja, deh. Ngga usah malu begitu, San. Kita kan sudah dewasa, jadi pasti tahu cara menjaga diri. Iya kan, Tom?” kata Ferry.
“Iya, Fer. Aku tidak cemburu kok Santi pergi berduaan dengan lelaki lain. Lha wong ini kan kewajiban dalam pekerjaannya?” sanggah Tomy sembari tersenyum pada Santi.
Lalu bel rumah berbunyi. “Itu pasti Hermanto. Baik, berarti sudah waktunya aku untuk pergi,” kata Santi. “Nanti setelah Kirani bangun sekitar jam delapan, tolong paksa dia untuk sarapan dulu baru setelah itu diberi obat batuk,” katanya kepada Novi.
“Baik, Kak. Tenang saja, kalau ada yang aku lupa, aku pasti telpon kamu atau Tomy. Oke?”
Tomy mengangkat koper Santi dan membuka pintu. Hermanto sudah berdiri menunggu Santi. “Selamat pagi,” katanya.
“Selamat pagi,” jawab mereka hampir bersamaan.
Dari belakang Santi bergerak ke luar menghampiri Hermanto lalu memperkenalkan dirinya, “Perkenalkan, ini Hermanto. Hermanto, ini keluargaku.”
Hermanto mempunyai postur tubuh tipikal pria setengah baya. Walau umurnya baru 45 tahun, namun karena perutnya yang membuncit dan rambutnya yang sudah menipis membuatnya kelihatan lebih tua. Belum lagi ditambah dengan model kacamata tebal yang dipakainya benar-benar sudah ketinggalan jaman.
“Halo. Santi selalu bercerita tentang keluarganya di kantor. Baru kali ini aku mendapat kesempatan untuk bertemu langsung.”
“Mudah-mudahan dia tidak bercerita yang jelek-jelek, nih,” celetuk Novi.
“Oh, tidak. Santi selalu bercerita yang baik-baik tentang kalian.”
“Baik. Aku pergi dulu yah, Tom. Hati-hati di jalan,” kata Santi sambil mengecup pipi Tomy.
“Iya. Kamu juga hati-hati di jalan,” jawab Tomy.

Santi sudah pergi sekitar 15 menit yang lalu dan Ferry pulang tidak lama setelah itu. Kini Novi hanya tinggal berdua dengan Tomy. Kirani masih tertidur di kamarnya.
“Aku harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor yah, Nov,” Tomy berkata kepada Novi yang sedang menyiapkan sarapan untuk Kirani.
“Baik, Tom. Kamu lakukan apa saja yang biasa kau lakukan, dan anggap saja aku tidak ada di sini,” jawab Novi.
Tomy masuk ke kamarnya untuk mandi dan bersiap-siap untuk kerja. Lima belas menit kemudian ia keluar dari kamar dan mendapati Kirani sedang duduk di ruang keluarga menonton TV.
“Kirani, kok pagi-pagi begini sudah bangun?” tanya ayahnya.
Kirani, putrinya yang masih berumur 3 tahun, dengan nada kecewa berkata, “Aku mau mengantarkan mama tapi mama sudah pergi.”
“Oh tidak apa-apa, Rani sayang. Nanti tante Novi akan membantu kamu untuk menelpon mama. Oke?” kata Tomy sambil memandang Novi yang masuk bergabung dengan mereka.
“Oke,” jawab Kirani dengan lantang.
Tomy menghampiri Novi lalu berbisik, “Sembunyikan telponnya setelah menelpon Santi. Aku tidak mau tagihan telponku membengkak gara-gara ia terus menerus menelpon mamanya.”
“Oh baik, Tom,” jawab Novi. Jantung Novi berdegup kencang ketika wajah Tomy berada dekat dengan wajahnya saat ia berbisik di telinganya.
Tomy menghirup dalam-dalam wangi lembut dari rambut Novi. “Wangi sekali,” pikirnya. Tiba-tiba saja ingatan Tom kembali pada kejadian kemarin malam. Dengan wajah masih berada dekat dengan wajah Novi, otak Tomy memutar ulang setiap adegan satu per satu secara berurutan.
“Ada apa ini?” pikir Novi bingung. “Mengapa dia berdiri diam di dekatku seperti ini?”
“Ummm, Tom…,” Novi membuka suara.
Tomy terlonjak karena lamunannya dibuyarkan oleh suara lembut Novi.
“Oh, aku harus segera berangkat, Nov. Jangan sungkan untuk makan makanan di kulkas atau lemari. Kalau ada apa-apa, telpon HP-ku saja. Bye,” Tomy berpamitan sambil bergerak ke luar rumah dengan cepat.

Tomy membuka pintu dan mendapati Novi berbaring di sofa sedangkan Kirani tertidur di lantai. Tomy berjingkat masuk berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikit pun. Dengan perlahan Tomy mengangkat tubuh mungil Kirani dan menggedongnya masuk ke kamar. Kirani masih terlelap saat Tomy keluar dari kamarnya.
Setelah tangannya menutup daun pintu kamar itu, mata Tomy melihat ke arah meja makan dan melihat botol orange juice berada di atas meja. Ia tersenyum lebar mengetahui semuanya berjalan sesuai dengan rencananya. Ia meraih botol orange juice itu dan senyumnya semakin melebar. Botol itu sudah kosong.
“Dengan dosis yang kumasukkan tadi pagi, obat itu akan bekerja selama 8 jam. Ia pasti meminumnya saat makan siang tadi, berarti aku masih mempunyai waktu sekitar 2 jam,” otak Tomy berputar.
Tomy menghampiri Novi yang terbaring lelap di sofa. Tanpa membuang waktu Tomy meremas payudara Novi, ia langsung menyantap hidangan utama yang selalu menggoda hatinya. Sejak menikah dengan Santi, Tomy selalu mempunyai pikiran-pikiran cabul terhadap adik iparnya. Setiap kali Novi berkunjung ke rumahnya, dengan sembunyi-sembunyi Tomy memperhatikan bentuk lekuk tubuh Novi dan membayangkan tubuh Novi tanpa pakaian. Dan dua bagian tubuh yang selalu menggetarkan hatinya tak lain adalah buah dada dan pantat Novi.
Saat ini Novi terbaring terlentang di hadapannya dan menjadikan payudaranya sebagai hidangan utama. Setelah meremas-remas payudara itu beberapa menit, Tomy menyelusupkan tangannya masuk ke balik baju Novi dan membuka BH yang dipakainya. Tomy benar-benar tidak ingin membuang waktu sedikitpun. Setelah menarik BH Novi lepas dari tubuhnya, Tomy dengan lebih leluasa meremas-remas payudaranya. Novi tidak bergeming. Ia tergolek seperti mayat tanpa reaksi.
“Nanti setelah selesai dengan tubuhnya, berarti aku harus mengenakan BH itu kembali ke tubuhnya. Dan berarti aku harus membuka bajunya terlebih dahulu. Kalau begitu mengapa tidak aku buka saja bajunya saat ini juga?” pikirnya lagi.
Dengan gerak cepat, Tomy menanggalkan baju Novi. Walau berukuran lebih kecil dari milik istrinya, bentuk payudara Novi sama indahnya dengan payudara Santi dan terlihat lebih padat. Puting susunya tidak sebesar puting susu Santi, namun warna puting Novi tidak segelap puting Santi. Walau secara keseluruhan tubuh Novi sekilas terlihat sama dengan tubuh Santi (karena memang kakak beradik), namun Tomy menjadi sangat terangsang melihat tubuh adik iparnya yang bukan tubuh istrinya yang sudah biasa dilihatnya.
Tomy langsung melahap puting susu Novi. Sementara tangan kanannya bermain-main dengan putingnya yang lain, lidah Tomy menjilat, menekan, berputar, dan memilin puting itu. Tak lama kemudian, Tomy merasakan puting itu mengeras di bawah permainan lidahnya. Rupanya tubuh Novi baru mulai bereaksi. Pergerakan naik turun dadanya akibat volume pernafasan yang bertambah mulai terlihat. Melihat hal ini, penis Tomy melejit dan mengeras di balik celananya.
Tangan kanannya meremas-remas payudara Novi dengan lebih bertenaga karena nafsu yang telah bergelora. Sementara itu, Tomy terus melancarkan serangan lidahnya atas puting susu Novi yang lainnya. Sesekali Tomy menggigit lembut puting yang sudah mengeras itu.
Setelah puas meremas-remas payudaranya, tangan kanan Tomy menyelusup masuk ke balik celana dalam Novi dan bergerilya ke daerah selangkangan Novi. Ia merasakan bulu-bulu halus terusap pada jari-jarinya yang berarti tangannya berada pada jalur yang benar. Kemudian jari-jari itu mendapati celah lembab di ujung penjelajahannya yang menyatakan bahwa pencariannya sudah berakhir. Jari-jari itu kini bersemayam di atas bibir kemaluan Novi. Tomy mengusap-usap jari-jarinya di sepanjang bibir vagina Novi. Tak lama setelah itu terdengar suara erangan dari mulut Novi dan deru nafasnya sudah terdengar dengan jelas. Pergerakan naik turun dadanya juga semakin jelas terlihat dan semakin bertambah intensitasnya. Di balik hisapan dan permainan lidahnya, Tomy tersenyum lebar setelah tubuh liang senggama Novi melelehkan cairan cinta keluar ke bibir vaginanya.
“Kalau di luarnya saja sudah basah seperti ini, apalagi bagian dalamnya yah?” pikir Tomy lagi.
Tanpa pikir panjang Tomy langsung menyelusupkan jari tengahnya masuk ke dalam liang kemaluan Novi. Tiba-tiba mata Novi terbuka, terbelalak dan menatap kosong ke langit-langit dan tanpa mengeluarkan suara, mulut mungilnya juga membentuk huruf “A” dan kepalanya terangkat dari sofa. Semua itu hanya berlangsung sepersekian detik sehingga Tomy tak dapat berbuat apa-apa. Jari tengahnya masih berada di dalam tubuh Novi dan mulutnya masih mengatup di atas payudaranya. Tomy berusaha memutar otaknya dengan cepat untuk mencari-cari alasan namun tentu saja usahanya sia-sia. Tubuh Novi mengejang masih pada posisi yang sama.
“Belum juga satu jam berlalu, mengapa efek obatnya sudah hilang?” otaknya terus berputar.
Sekitar lima detik kemudian, bola mata Novi mulai bergerak dan melirik ke arah dadanya. Begitu melihat mulut Tomy melahap payudaranya, Novi langsung bangkit berdiri dan menutupi dadanya dengan kedua tangannya. Mereka berdua saling bertatap-tatapan lalu Novi mulai memandang ke sekelilingnya. Ia mencari-cari pakaiannya. Setelah menemukan bajunya, Novi segera mengenakan baju itu tanpa mengenakan BH terlebih dahulu.
“Apa yang sedang kamu lakukan, Tom?” tanya Novi setengah berbisik namun tegas. Ia tidak ingin suaranya terdengar oleh Kirani yang ia tahu sedang berada di kamarnya.
“Ah.. anu… aku… a-anu…,” Tomy belum menemukan kata-kata yang dapat digunakan untuk menutupi semua perbuatannya itu.
“Kamu sudah hilang akal, yah? Aku ini kan adik Santi, istrimu?”
“Jangan salah paham, Nov…, a-aku…,” Tomy masih berusaha menenangkan Novi.
“Kamu sudah mempunyai istri bahkan sudah mempunyai seorang putri. Apa jadinya kalau mereka tahu apa yang kau perbuat barusan? Aku juga sudah bersuami!” tambah Novi dengan suara bisikan yang lebih tegas.
Merasa terpojok dan tidak dapat membela diri, Tomy malah balas menyerang, “Ah, kamu tak perlu menggunakan alasan sudah bersuami dan jangan berpura-pura, deh. Aku tahu kamu juga menikmatinya, kan?”
Novi tidak dapat mempercayai pendengarannya. “Apa maksudmu? Aku tidak tahu menahu apa yang sedang kau lakukan saat aku tertidur. Yang aku tahu saat aku terjaga kamu sedang melakukan perbuatan hina terhadap tubuhku.”
Memang benar Novi tidak tahu apa yang dilakukan Tomy terhadap dirinya, akan tetapi tubuhnya masih berfungsi dengan normal dan memberi respon sesuai dengan rangsangan yang diberikan. Nafas yang memburu, puting yang mengeras, dan cairan yang keluar dari vaginanya merupakan reaksi normal saat tubuh seorang wanita mendapat rangsangan seksual.
“Tak perlu berbohong, Nov. Tubuhmu sendiri yang berkata demikian. Kamu pasti merasakan vaginamu mengeluarkan cairan pelumas dan kamu juga dapat merasakan betapa kerasnya puting susu kamu. Itu tandanya kamu sudah terangsang. Pria manapun yang kau tanya pasti tahu hal itu,” Tomy menjelaskan.
Novi terdiam dan kini ia baru merasakan kebenaran kata-kata Tomy. Walau sudah tidak banyak, namun Novi masih dapat merasakan vaginanya basah dan saat ia mendapati tubuhnya merespon terhadap perbuatan bejat Tomy, ia merasakan putingnya semakin mengeras. Wajahnya langsung menjadi merah padam.
Tomy yang melihat Novi tidak dapat menyangkali pernyataannya barusan menjadi semakin bersemangat, “Nah, betul, kan Nov? Tidak perlu malu untuk mengakuinya. Lagipula hari Sabtu kemarin kamu juga tidak malu-malu menghisap penisku.”
Seperti mendengar halilintar di siang bolong, Novi tidak dapat mempercayai pendengarannya, “APA?!?!”
“Sudahlah, tidak perlu bersandiwara lagi. Aku tahu permainan kalian berdua,” kata Tomy.
“T-t-tapi, kamu… bagaimana… a-apakah Ka Santi yang memberi tahu?” tanya Novi tak habis pikir.
“Oho, tidak, tidak. Dia tidak bercerita sedikit pun. Apa kau ingat saat aku menyentuh payudaramu malam itu? Malam itu aku mendapati payudara itu masih tertutup BH namun pada kenyataannya Santi tidak mengenakan BH malam itu. Jadi aku tahu ada sesuatu yang tidak wajar. Dan pagi ini saat aku mencium wangi rambutmu aku tahu bahwa yang mengoralku Sabtu lalu tak lain adalah kau, Novi.”
Wajah Novi menjadi pucat, kerongkongannya terasa kering dan kepalanya terasa berputar-putar. Detik berikutnya ia sudah mendapati tubuhnya terduduk di sofa dengan Tomy duduk di sampingnya.
“Aku tidak tahu kalau kau begitu menginginkan diriku sampai kau meminta Santi untuk mengatur permainan ini. Begini saja, Nov. Aku berjanji tak akan mengadukan hal ini ke Ferry asal kau melakukan apa yang kusuruh,” usul Tomy.
“Bukan, bukan begitu ceritanya. Aku… aku bukan wanita seperti itu,” bantah Novi.
“Ah aku tidak perduli. Apa pun alasannya, aku yakin Ferry tidak tahu menahu atas perbuatanmu. Oleh karena itu demi tersimpannya rahasiamu dari Ferry, aku menganjurkan kamu untuk menuruti perintahku. Mengerti, Nov?”
Novi tidak dapat menjawab. Ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menangis tersedu-sedu.
Tomy membelai-belai kepala Novi untuk menenangkannya, “Sudah, sudah. Tidak perlu menangis seperti itu. Ayo kita nikmati saja bersama semua ini. Santi jelas-jelas menyetujui hubungan kita berdua. Lagipula ia sedang tidak berada di sini. Dan kau juga tidak perlu khawatir atas Ferry. Ia tidak akan menjemputmu malam ini. Aku tadi sudah menelponnya dan memberi tahu bahwa aku akan mengantarmu pulang.”
Dalam waktu lima menit ke depan, Novi masih terus menangis. Tomy beberapa kali masih mencoba untuk menenangkan Novi. Dan akhirnya Novi menyadari bahwa keadaannya tidak akan bertambah baik jika ia tidak menuruti kemauan Tomy. Novi tidak ingin menerima kenyataan ini. Ia terus berusaha mencari celah agar ia dapat keluar dari jerat Tomy dan usahanya mencapai jalan buntu. Novi mencoba pasrah dan berhenti menangis.
Melihat hal ini Tomy segera memulai permainannya. Dengan lembut ia mengecup pipi Novi. Secara refleks Novi menghindari kecupan itu. Tomy mencoba sekali lagi namun kali ini Novi malah mencoba mendorong tubuh Tomy menjauh darinya.
“Hei, bukankah kita sudah sepakat?” sergah Tomy.
Tomy meraih wajah Novi lalu mengatupkan bibirnya ke atas bibir Novi. Bibir Tomy melumat bibir Novi dengan penuh nafsu. Novi yang diam saja, membiarkan bibirnya dilumat oleh Tomy.
Pandangan Novi kosong sementara pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Apa jadinya jika Ferry mengetahui hal ini? Apalagi jika ia tahu kejadian Sabtu malam itu, saat mulutnya membungkus batang kemaluan lelaki lain. Lalu bagaimana kalau ia tahu bahwa lelaki lain itu adalah Tomy, kakak iparnya sendiri? Apa jadinya hubungan keluarganya dengan keluarga Santi? Bagaimana pula hubungannya dengan Ferry?
Semakin dipikir semua kekhawatiran itu terasa semakin mengambil alih setiap sel dalam otaknya. Dan tanpa disadari, mulut Novi sudah terbuka dan menyerah terhadap ciuman Tomy. Bukan hanya itu, lidahnya malah ikut menari-nari membalas liak-liuk lidah Tomy di dalam mulutnya. Tomy meraih bagian bawah baju Novi dan menariknya ke atas melewati kepala Novi. Hal ini membuat kedua tangan Novi terangkat naik.
Tersadar dengan apa yang sedang terjadi, secepat kilat Novi menarik lidahnya dan menutup bibirnya serta menurunkan lengannya agar bajunya tidak ditanggalkan oleh Tomy. Namun terlambat sudah. Tomy melemparkan baju itu jauh-jauh supaya Novi tidak berusaha untuk mengambilnya lagi.
Dengan hanya mengenakan celana dalam, Novi terduduk dengan kedua lengannya bersilangan di depan dadanya untuk menutupi payudaranya dari Tomy. Novi melihat Tomy sedikit mundur dan sambil terus memandangi tubuhnya dengan tatapan cabul Tomy membuka baju dan celananya satu persatu. Saat sampai Tomy hendak melepaskan celana dalamnya, Novi menoleh ke samping dan memejamkan matanya karena tidak berniat untuk melihat kemaluan kakak iparnya.
“Kenapa, Nov? Kamu tidak mau melihat penisku?” tanya Tomy dengan bercanda sambil terus menanggalkan celana dalamnya.
“Ayo Nov, tidak perlu malu. Apalagi takut. Kamu toh sudah pernah mencicipi batangku?” Novi semakin rapat memejamkan matanya berusah untuk mengusir gambaran penis Tomy dari pikirannya.
Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya oleh Tomy. Melihat Novi yang sedang lengah langsung saja ia meraih celana dalam Novi dan menariknya sehingga lepas dari tubuhnya. Novi terpekik kaget dan saat membuka matanya, ia mendapati mereka berdua sudah telanjang bulat.



Anda sedang membaca artikel tentang santi & Novi : oral lesson dan anda bisa menemukan artikel santi & Novi : oral lesson ini dengan url http://kumpulan-ceritaxxx.blogspot.com/2012/05/santi-novi-oral-lesson.html, anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel santi & Novi : oral lesson ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda, namun jangan lupa untuk meletakkan link santi & Novi : oral lesson sumbernya.

Keyword : cerita seks,cerita dewasa,cerita,kumpulan cerita,mendesah,selingkuh,nikmat,sumber cerita,kumpulan cerita seks,hot story



Selamat Datang Di Cerita Seks Terbesar di Indonesia

Admin Mesum - 02.04
MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Promosikan Situs/Web atau Blog Anda Disini



Shout
Review http://kumpulan-ceritaxxx.blogspot.com on alexa.com
backlink
Email extractor software for online marketing. Get it now free, Email Extractor 14. online-casino.us.org

 
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2012. Kumpulan Ceritaxxx - All Rights Reserved