Aku bekerja di perusahaan kontraktor swasta di daerah Indramayu yang
mempunyai sekitar 20 pegawai dan 3 orang diantaranya adalah wanita. Pada
umumnya pegawai-pegawai itu datang dari desa sekitar perusahaan ini
berada dan rata-rata pegawai prianya sudah bekerja di perusahaan ini
sekitar 15 tahunan lebih, sedangkan aku diperbantukan dari kantor pusat
di Jakarta dan baru sekitar 1 tahun di kantor cabang ini sebagai kepala
personalia merangkap kepala keuangan. Karena pindahan dari kantor pusat,
maka aku dapat tinggal di rumah yang disewa oleh perusahaan. Istriku
tidak ikut tinggal di sini, karena dia juga kerja di Jakarta, jadi kalau
tidak aku yang ke Jakarta setiap Jum'at sore dan kembali hari Minggu
sore atau istriku yang datang.
Hubungan antar para pekerja begitu akrab, sehingga beberapa diantara
mereka ada yang sudah menganggap aku sebagai saudara atau anaknya saja.
Dalam situasi seperti sekarang ini, perusahaan dimana aku bekerja juga
mengalami krisis yang cukup serius dan jasa pekerjaan yang kami terima
dari perusahaan kilang minyak dan perusahaan lainnya juga semakin
berkurang. Hal ini mengakibatkan pimpinanku memerintahkan untuk
mengurangi beberapa orang pegawainya dan ini harus kulaksanakan dalam
waktu sebulan ini. Setelah kupilah-pilah dari 20 orang pegawai itu, lalu
aku mengambil 5 orang pegawai yang paling tua dan yang dalam 1 atau 2
tahun ini akan mencapai usia 55 tahun, lalu aku menyuruh sekretaris
kantor yang bernama Sri (samaran) dan juga dari penduduk di sekitar
perusahaan untuk mengetik draft surat-surat yang sudah kupersiapkan dan
rencanaku dalam 2 minggu ini masing-masing pegawai akan kupanggil satu
persatu untuk keberikan penjelasan sekaligus memberikan golden shake
hand pesangon yang cukup besar. Sri adalah salah satu diantara 3 pekerja
wanita di sini dan umur mereka bertiga sekitar 30 tahunan. Sri, menurut
teman-teman kerjanya adalah seorang pegawai yang agak sombong, entah
apa yang disombongkan atau mungkin karena merasa yang paling cantik
diantara ke 2 wanita lainnya.
Padahal kalau aku bandingkan dengan pekerja wanita di kantor pusat
Jakarta, belum ada apa-apanya. Suaminya Sri menurut mereka itu sudah
setahun ini bekerja di Arab sebagai TKI. Di hari Jum'at sore, sewaktu
aku besiap siap akan pulang, tiba-tiba muncul salah seorang pegawai yang
biasa kupanggil Pak Tus datang menghadap ke ruangan kantorku. "Ada apa
Pak Tus", tanyaku. "Ini..., Pak..., kalau Bapak ada waktu, besok saya
ingin mengajak Bapak untuk melihat kebun buah-buahan di daerah
pegunungan sekitar Kuningan dan peninggalan orang tua saya, siapa tahu
Bapak tertarik untuk membelinya". Setelah kipikir sejenak dan sekaligus
untuk menyenangkan hatinya karena Pak Tus ini adalah salah satu dari
pegawai yang akan terkena PHK, segera saja permintaannya kusetujui.
"Oke..., Pak Tus, boleh deh, kebetulan saya tidak punya acara di hari
Sabtu dan Minggu ini..., kita pulang hari atau nginap Pak...? "Kalau
Bapak nggak keberatan..., kita nginap semalam di gubuk kami..., Pak..,
dan kalau Bapak tidak berkeberatan, saya akan membawa Istri, anak dan
cucu saya, Biar agak ramai sekaligus untuk masak.., karena tempatnya
agak jauh dari warung", jawab Pak Tus dengan wajah berseri. "Yapi...,
Pak..., saya tidak punya kendaraan.., lanjut Pak Tus dengan wajah agak
sedih". "Pak..., Tus..., soal kendaraan jangan terlalu di pikir, kita
pakai Kijang saya saja.., dan Pak Tus boleh membawa semua keluarganya,
asal mau berdesak-desakan di Kijang dan besok jam 10 pagi akan saya
jemput ke rumah Pak Tus", sahutku dan Pak Tus dengan wajah berseri
kembali lalu mengucapkan terima kasih dan pamit untuk pulang.
Besok paginya sekitar jam 10 pagi aku menjemput ke rumah Pak Tus yang
boleh dibilang rumah sangat sederhana. Di depan rumahnya aku disambut
oleh Pak Tus dan Istrinya. Aku agak terkejut, karena Isrinya kelihatan
jauh lebih muda dari yang kuduga. Dia kutaksir berumur sekitar 35
tahunan dan walau tinggal di kampung tapi sepertinya tidak ketinggalan
jaman. Istri Pak Tus mengenakan rok dan baju agak ketat tanpa lengan
serta ukuran dadanya sekitar 36C. "silakan masuk..., Pak...", katanya
hampir serentak, "Ma'af Pak..., rumahnya jelek", sambung Pak Tus. "Ah,
Bapak dan Ibu.., bisa saja, Oh iya..., anak dan cucu nya apa jadi
ikut?", sahutku sambil bertanya karena aku tidak melihat mereka. "Oh...,
si Aminah (mana disamarkan) sedang di belakang menyiapkan barang-barang
bawaannya dan cucu saya tidak mau pisah dari ibunya", sahut Pak Tus.
Tidak lama kemudian dari belakang muncul wanita muda yang tidak bisa
dibilang jelek dengan tinggi sekitar 160 Cm serta memakai T shirt ketat
sedang menggendong anak laki-laki dan tangan satunya menjinjing tas agak
besar, mungkin berisi pakaian. "Pak..", kata Pak Tus, yang membuatku
agak kaget karena aku sempat terpesona dengan body Aminah yang yang
aduhai serta berjalan dengan dada yang menantang walau ukuran dadanya
boleh dibilang tidak besar. "Paak..., ini kenalkan anak perempuan
saya..., Aminah dan ini cucu saya Dodi". Kusambut uluran tangan Aminah
serta kujabat tangannya yang terasa agak dingin dan setelah itu kucubit
pipi Dodi. "Ayo..., Pak...", ajak Pak Tus, "Kita semua sudah siap dan
bisa berangkat sekarang". "Lho..., apa bapaknya Dodi tidak ikut...,
Pak?, tanyaku dan kulihat Pak Tus saling berpandangan dengan Istrinya,
tapi yang menyahut malah Aminah. "Enggak kok..., Pak..., dia lagi pergi
jauh". "Ayo..., lah kalau begitu..., kita bisa berangkat sekarang..,
Pak", kataku walau aku masih ada tanda tanya besar dalam hatiku soal
suami Aminah.
Sesampainya tempat yang dituju, aku jadi terkagum-kagum dengan kebun
yang dimiliki Pak Tus yang cukup luas dan tertata rapi serta seluruhnya
ditanami pohon buah-buahan, bahkan banyak yang sedang berbuah. Rumah
yang boleh dibilang tidak besar, terletak di bagian belakang kebun itu.
"Ayo..., Pak, kita beristirahat dulu di gubuk, nanti setelah itu kita
bisa keliling kebun melihat pohon-pohon yang ada", kata bu Tus dan
disambut dengan sahutan Pak Tus. "Iyaa..., Pak..., silakan istirahat ke
rumah dulu, biar Istri saya menyiapkan minum buat Bapak, sedang saya mau
ketemu dengan yang menjaga kebun ini. Lalu aku dan Bu Tus berjalan
beriringan menuju rumahnya dan sepanjang perjalanan menuju rumah kupuji
kalau kebunnya cukup luas serta terawat sangat baik. "Aahh..., Bapak...,
jangan terlalu memuji..., kebun begini.., kok dibilang bagus.., tapi
inilah kekayaan kami satu-satunya dan peninggalan mertua", kata bu Tus
yang selalu murah senyum itu. Ketika mendekati rumah, Bu Tus lalu
berkata, "silakan Pak..., masuk", dan aku segera katakan, "silakan...,
sambil bergeser sedikit untuk memberi jalan pada bu Tus.
Entah mengapa, kami berdua berjalan bersama masuk pintu rumah sehingga
secara tidak sengaja tangan kiriku telah menyenggol bagian dada bu Tus
yang menonjol dan kurasakan empuk sekali. Sambil kupandangi wajah bu Tus
yang kelihatan memerah, segera kukatakan. "Maaf..., bu..., saya tidak
sengaja", Bu Tus tidak segera menjawab permintaan maafku, aku jadi
merasa agak nggak enak dan takut dia marah, sehingga kuulangi lagi.
"Benar..., buu..., saya tidak sengaja...". "Aahh..", Pak Pur.., saya
nggak apa apa kok..., hanya..., agak kaget saja, lupakan.., Pak..., cuma
gitu saja..., kok", kata bu Tus sambil tersenyum. "Oh iya..., Bapak mau
minum apa", tanya bu Tus. "Terserah Ibu saja deh". "Lhoo..., kok
terserah saya..?"."Air putih juga boleh kok bu". Setelah bu Tus ke
belakang, aku lalu duduk di ruang tamu sambil memperhatikan ruangan nya
model rumah kuno tetapi terawat dengan baik. Tidak terlalu lama, kulihat
bu Tus yang telah mengganti bajunya dengan baju terusan seperti baju
untuk tidur yang longgar berjalan dari belakang sambil membawa baki
berisi segelas teh dan sesampainya di meja tamu dimana aku duduk, bu Tus
meletakkan gelas minuman untukku sambil sedikit membungkuk, sehingga
dengan jelas terlihat dua gundukan besar yang menggantung didadanya yang
tertutup BH dan bagian dalam badannya, membuat mataku sedikit melotot
memperhatikannya. "Iihh..., matanya Pak Puur..., kok..., nakal.., yaa",
katanya sambil menyapukan tangannya dimukaku serta tersenyum. Aku jadi
agak malu dikatakan begitu dan untuk menutupi rasa maluku, aku jawab
saja sambil agak bergurau. "Habiis..., bu Tus berdirinya begitu..., sih.
"Aahh..., bapak ini..., kok sepertinya..., belum pernah melihat seperti
itu saja", sahut bu Tus yang masih berdiri di dekatku dan mencubit
tanganku. "Betul kok..., buu..., saya belum pernah melihat yang seperti
itu, jadi boleh kan buu..., saya lihat lagi..?". "aahh..., bapak..",
kembali mencubitku tetapi sekarang di pipiku sambil terus berjalan ke
belakang.
Setelah minuman kuhabiskan, aku lalu balik keluar menuju ke kebun dan
ngobrol dengan pak Tus yang sedang membersihkan daun-daun yang
berserakan. Selang berapa lama, kulihat bu Tus datang dari dalam rumah
sambil membawa gulungan tikar dan setelah dekat lalu menggelar tikarnya
di kebun sambil berkata kepada suaminya. "Paak..., kita ajak Pak Pur
makan siang disini saja..., yaa", dan pak Tus tidak menjawab pertanyaan
istrinya tetapi bertanya kepadaku. "Nggak..., apa-apa..., kan.., paak..,
makan di kebun..? Biar tambah nikmat". "Nggak apa apa kok.., paak",
jawabku. Tidak lama kemudian dari arah rumah tetangganya, kulihat Aminah
yang sudah mengganti bajunya dengan baju terusan yang longgar seperti
ibunya datang membawa makanan dan sambil membungkuk meletakkan makanan
itu di tikar dan aku yang sedang duduk di tikar itu kembali melihat buah
yang menggantung di dada, dan sekarang dadanya Aminah. Kelihatan sekali
kalau Aminah tidak mengenakan BH dan ukurannya tidak besar. Aminah
tidak sadar kalau aku sedang memperhatikan buah dadanya dari celah
bajunya pada saat menaruh dan menyusun makanan di tikar. Setelah Aminah
pergi, sekarang datang Ibunya sambil membawa makanan lainnya dan ketika
dia membungkuk menaruh makanan, kembali aku disungguhi pemandangan yang
sama dan sekarang agak lama karena makanan yang disusun oleh Aminah,
disusun kembali oleh bu Tus. Tidak kuduga, tiba-tiba bu Tus sambil tetap
menyusun makanan lalu berkata agak berbisik, mungkin takut didengar
oleh suaminya yang tetap masih bekerja membersihkan daun-daun tidak jauh
dari tempatku duduk. "Paak..., sudah puas melihatnyaa..?" . Lalu
kudekatkan wajahku sambil membantu menyusun makanan dan kukatakan pelan,
"Beluum..., buu..., saya kepingin memegangnya dan menghisapnyaa". Bu
Tus langsung mencubitkan tangannya di pahaku sambil berkata pelan,
"Awas..., yaa..., nanti saya gigit punya bapak.., baru tahu", sambil
terus berjalan.
Sekarang muncul lagi Aminah dan kembali meletakkan makanan sambil
membungkuk dan kembali terlihat buah dadanya dan kepingin rasanya
kupegang. Rupanya Aminah tahu kalau aku sedang memperhatikan dadanya,
lalu dia berbisik. "Paakk..., matanya kok nakal..., yaa...", tapi tanpa
menutupnya dan langsung saja kujawab, "aam..., habis bagus siih...,
pingin pegang...,boleh apa nggak?", Aminah hanya tersenyum sambil
mencubit tanganku lalu pergi. Setelah itu kami berempat makan di tikar
dan nikmat sekali rasanya makan di kebun dan setelah selesai makan,
Aminah pamit untuk memberi makan anaknya di rumah bibinya. Ketika
kutanyakan ke Pak Tus, kemana suaminya Aminah segera Pak Tus
menceritakan keluarganya. Untuk singkatnya sebaiknya kuceritakan saja
kepada pembaca situs cerita 17Tahun, bahwa Istri Pak Tus ini adalah adik
kandung dari Istri pertamanya yang sudah meninggal dan Aminah adalah
anak satu-satunya dari istri pertamanya. Sedang Aminah sudah bercerai
dari suaminya pada saat Aminah hamil, suaminya meninggalkan begitu saja
karena kawin dengan wanita lain. Tidak terasa kami ngobrol di kebun
cukup lama dan mungkin karena hawanya agak dingin dan anginnya agak
keras, aku merasa seperti sedang masuk angin.
Sementara Pak Tus dan istrinya membereskan sisa makan siang, aku
memukul-mukul perutku untuk membuktikan apa benar aku sedang masuk angin
dan ternyata benar. Perbuatanku memukul perut rupanya diketahui oleh
Pak Tus dan istrinya. "Kenapa paak..", tanya mereka hampir serentak.
"Nggak apa apa kok..., cuman masuk angin sedikit". "Paak..., masuk angin
kok..., dibilang nggak apa apa..", jawab Pak Tus "Apa bapak biasa
dikerokin", lanjutnya. "Suka juga sih paak", jawabku. "Buu..., biar saya
yang beresin ini semua..., itu tolong kerokin dan pijetin Pak Puur,
biar masuk anginnya hilang", kata Pak Tus. "Oh..., iya.., Buu", lanjut
Pak Tus, "Habis ini saya mau mancing ikan di kali belakang, siapa tahu
dapat ikan untuk makan malam nanti...". "Pak Tuus..., nanti kalau masuk
angin saya hilang, saya mau ikut mancing juga", kataku. "Ayoo..., pak
Puurr.., kita ke rumah..., biar saya kerokin di sana..., kalau di sini
nanti malah bisa sakit beneran. Sesampainya di dalam rumah lalu bu Tus
berkata, "Paak..., silakan bapak ke kamar sini saja", sambil menunjuk
salah satu kamar, dan "Saya ke belakang sebentar untuk mengambil uang
untuk kerokannya". Tidak lama kemudian bu Tus muncul ke dalam kamar dan
menutup pintunya dan menguncinya. "Paak..., kerokannya di tempat tidur
saja yaa..., dan tolong buka kaosnya". Setelah beberapa tempat di
punggungku dikerokin, bu Tus berkomentar. "Paakk..., rupanya bapak masuk
angin beneran..., sampai merah semua badan bapak".
Setelah hampir seluruh punggungku dikerokin dan dipijitin, lalu bu Tus
memintaku untuk tidur telentang. "Paak..., sekarang tiduran
telentang..., deh..., biar bisa saya pijitin agar angin yang di dada dan
perut bisa keluar juga. Kuturuti permintaannya dan bu Tus naik ke
tempat tidur di samping kiriku dan mulai memijit kedua bahuku. Dengan
posisi memijit seperti ini, tentu saja kedua payudara bu Tus terlihat
sangat jelas dan bahkan seringkali menyentuh wajahku sehingga mau tak
mau membuat penisku menjadi tegang. Karena sudah tidak kuat menahan
diri, kuberanikan untuk memegang kedua payudaranya dan bu Tus hanya
berkata pelan. "Jangaan..., paak..., sambil tetap memijit bahuku.
"Kenapa buu...", tanyaku sambil melepas pegangan di payudaranya.
"Nggak..., apa apa kok..., paak", jawabnya pelan sambil tersenyum.
Karena tidak ada kata-kata lainnya, maka kuberanikan lagi untuk
menyelusupkan tangan kiriku ke dalam bajunya bagian bawah serta kupegang
vaginanya dan kembali terdengar suara bu Tus. "Paakk..., sshh...,
jangaan..., aahh...", dan badannya dijatuhkan ke badanku serta bibirnya
bertemu dengan bibirku.
Dengan tidak sabar, lalu kuangkat rok terusannya ke atas dan kulepaskan
dari kepalanya sehingga badannya telanjang hanya tertutup oleh BH dan CD
saja, lalu segera badannya kubalik sehingga aku sekarang ada di atas
badannya dan segera kaitan BH-nya kulepas sehingga tersembul buah
dadanya yang besar. Kujilati dan kuhisap kedua payudaranya bergantian
dan bu Tus hanya berdesah pelan. "sshh..., aahh..., paak..., sshh...,
dan tangan kiriku kugunakan untuk melepas CD-nya dan kumasukkan jariku
diantara belahan vaginanya yang sudah basah dan ini mungkin membuat bu
Tus semakin keenakan dan terus mendesah. "sshh..., aduuhh..., paakk...,
sshh..., aahh".
Sambil tetap Kujilati payudaranya, sekarang kugunakan tanganku untuk
melepas celana panjang dan CD-ku dan setelah berhasil, kembali kugunakan
jari tanganku untuk mempermainkan vaginanya dan kembali kudengar
desahannya. "sshh..., aahh..., paak..., sshh..., ayoo.., paak", dan
kurasakan bu Tus telah membukakan kedua kakinya agak lebar. Walau tidak
bilang kurasa bu Tus sudah tidak tahan lagi, maka segera saja kuarahkan
penisku ke arah vaginanya dan kedua tangannya telah melingkar erat di
punggungku. Belum sempat aku siap-siap, "Bleess...", penisku masuk ke
dalam vaginanya akibat bu Tus menekan kuat-kuat punggungku dan bu Tus
berteriak agak keras, "aahh..", sehingga terpaksa mulutnya segera
kusumpal dengan bibirku agar teriakannya tidak terdengar sampai keluar
kamar. Sambil kujilati payudaranya, aku menggerakkan pantatku naik turun
sehingga penisku keluar masuk vaginanya dan menimbulkan bunyi.
"ccrreett..., ccrreett..., ccrreett", dan dari mulut bu Tus terdengar
desahan yang agak keras, "Aahh..., sshh..., paak..., aahh..", dan tidak
lama kemudian bu Tus semakin cepat menggerakkan pinggulnya dan tiba-tiba
kedua kakinya dilingkarkan kuat-kuat di punggungku sehingga mempersulit
gerakan keluar masuk penisku dan terdengar suaranya yang agak keras,
"aaduuhh.., sshh..., aahh..., aaduuhh..., paakk..., aarrhh.., sambil
menekan kuat-kuat badanku lalu bu Tus terdiam, dengan nafas yang cepat.
Untuk sementara, kudiamkan dulu sambil menunggu nafas bu Tus agak normal
kembali dan tidak lama kemudian, sambil menciumi wajahku, bu Tus
berkata. "Paakk..., sudah lamaa..., saya..., tidak pernah seperti
ini..., terima kasih..., paak". Setelah nafasnya kembali normal dan
penisku masih tetap di dalam vaginanya, lalu kuminta bu Tus untuk
menungging. "Paak..., saya belum pernah seperti itu", katanya pelan.
"Nggak apa-apa kok buu..., nanti juga bisa", kataku sambil mencabut
penisku dari vaginanya yang sangat basah. Kubalik badannya dan kuatur
kakinya sehingga posisinya nungging, bu Tus hanya mengikuti kemauanku
dan menaruh kepalanya di bantal. Lalu kudekatkan wajahku di dekat
vaginanya dan kujulurkan lidahku ke dalam lubang vaginanya dan
kupermainkan, sambil kupegang kedua bibir vaginanya, bu Tus hanya
menggerakkan pantatnya pelan-pelan. Tetapi setelah bu Tus memalingkan
kepalanya dan menengok ke arah bawah serta tahu apa yang kuperbuat,
tiba-tiba bu Tus menjatuhkan badannya serta berkata agak keras,
"Paakk..., jangaan", sambil berusaha menarik badanku ke atas. Terpaksa
kudekati dia dan sambil kucium bibirnya yang mula-mula ditolaknya, lalu
kutanya, "Kenapa..., buu..? "Paakk..., jangaan..., itu kan kotoor..",
Sambil agak berbisik, segera kutanyakan. "Buu..., apa ibu belum
pernah..., dijilati seperti tadi..?". "Beluum.., pernah paak..",
katanya. "Buu..., nggak apa-apa.., kok..., coba deh..., pasti nanti ibu
akan nikmat..", sambil kutelentangkan dan kutelisuri badannya dengan
jilatan lidahku. Sesampainya di vaginanya, kulihat tangan bu Tus
digunakan untuk menutupi vaginanya, tapi dengan pelan-pelan berhasil
kupindahkan tangannya dan segera kuhisap clitorisnyanya yang membuat bu
Tus menggelinjang dan mendesah. "Paakk..., jangaann..., aahh...,
aduuhh", tapi kedua tangannya malah diremaskan di kepalaku dan
menekannya ke vaginanya. Kelihatannya bu Tus sudah tahu nikmat vaginanya
dihisap dan dijilati, sehingga sekarang semakin sering kepalaku ditekan
ke vaginanya disertai desahan-desahan halus, "aahh..., sshh...,
aahh..., aaccrrhh", seraya menggerak-gerakkan pinggulnya.
Jilatan serta hisapanku ke seluruh vagina bu Tus membuat gerakan
pinggulnya semakin cepat dan remasan tangannya di rambutku semakin kuat
dan tidak lama kemudian, lagi-lagi kedua kakinya dilingkarkan ke bahuku
dan menjepitnya kuat-kuat disertai dengan desahan yang cukup keras
"aahh..., aaduuh..., sshh..., aaccrrhh..., paakk..., adduuhh...,
aacrrhh. Kulihat bu Tus terdiam lagi dengan nafasnya yang terengah-engah
sambil mencoba menarik badanku ke atas dan kuikuti tarikannya itu,
sesampainya kepalaku di dekat kepalanya, bu Tus sambil masih
terengah-engah mengatakan, "Paakk..., enaak..., sekalii..., paak..,.
terima kasiih..". Pernyataannya itu tidak kutangapi tetapi aku berusaha
memasukkan penisku ke dalam vaginanya, dan karena kakinya masih terbuka,
maka penisku yang masih sangat tegang itu dapat masuk dengan mudah.
Karena nafas bu Tus masih belum normal kembali, aku hanya menciumi
wajahnya dan diam menunggu tanpa menggerakkan pinggulku, tetapi dalam
keadaan diam seperti ini, terasa sekali penisku terhisap keras oleh
vaginanya dan terasa sangat nikmat dan kubilang, "Buu..., ituu...,
Buu..., enaakk..., laggii..., buu", dan mungkin ingin membuatku
keenakan, kurasakan sedotannya semakin keras saja dan, "Buu...,
teruuss..., buu..., enaakk.., aaduuh". Setelah nafasnya kembali normal,
lalu kuangkat kedua kaki bu Tus dan kutempatkan di atas bahuku dan bu
Tus hanya diam saja mengikuti kemauanku.
Dengan posisi begini, terasa penisku semakin dalam menusuk ke vaginanya
dan ketika penisku kuhentakkan keluar masuk vaginanya, bu Tus kembali
berdesah, "Aahh..., Paakk..., enaakk..., Paakk..., aahh..., sshh", dan
akupun yang sudah hampir mendekati klimaks ikut berdesah, "aahh...,
sshh..., aaccrrhh..., Buu.., aahh", sambil mempercepat gerakan penisku
keluar masuk vaginanya dan ketika aku sudah tidak dapat menahan air
maniku segera saja kukatakan, "Buu..., Buu..., saayaa..., sudah mau
keluar..., aahh..., taahaan..., yaa..., Buu..", dan bu Tus sambil
memelukku kuat-kuat, menganggapinya dengan mengatakan, "Paakk...,
ayoo..., cepaatt..., Paakk...", dan kutekan penisku kuat-kuat menusuk
vaginanya sambil berteriak agak keras, "aahh..., aacrrhh..., bbuu...,
aahh..", Aku sudah tidak memperhatikan lagi apa yang diteriakkan bu Tus
dan yang aku dengar dengan nafasnya yang terengah-engah bu Tus menciumi
wajahku sambil berkata, "Teriimaa..., kasiih..., paakk..., saayyaa...,
capeek..., sekali.., paakk". Setelah istirahat sebentar dan nafas kami
kembali agak normal, bu Tus mengambil CD-nya dan dibersihkannya penisku
hati-hati. Aku segera mengenakan pakaianku dan keluar menuju sungai
untuk menemani pak Tus memancing. "Sudah dapat berapa Paak ikannya..",
tanyaku setelah dekat. "ooh..., bapaak..., sudah tidak masuk angin
lagi..., paak..?", dan lanjutnya, "Lumayan paak.., sudah dapat beberapa
ekor dan bisa kita bakar nanti malam.
Malam harinya setelah makan dengan ikan bakar hasil pancingannya pak
Tus, kami berempat hanya ngobrol di dalam rumah dan suasananya
betul-betul sepi karena tidak ada TV ataupun radio, yang terdengar
hanyalah suara binatang-binatang kecil dan walaupun sudah di dalam rumah
tetapi hawanya terasa dingin sekali, maklum saja karena kebun pak Tus
berada di kaki bukit. Sambil ngobrol kutanyakan pada Aminah, "Aam..., ke
mana anaknya..? Kok dari tadi tidak kelihatan" "oohh..., sudah tidur
paak", katanya. Karena suasana yang sepi ini, membuat orang jadi cepat
ngantuk dan benar saja tidak lama kemudian Aminah pamit mau tidur
duluan. Sebetulnya aku juga sudah mengantuk demikian juga kulihat mata
bu Tus sudah layu, tetapi karena pak Tus masih bersemangat untuk ngobrol
maka obrolan kami lanjutkan bertiga. Tidak lama kemudian, bu Tus juga
pamit untuk tidur duluan dan mungkin pak Tus melihatku menguap beberapa
kali, lalu pak Tus berkata padaku, "Paak..., lebih baik kita juga nyusul
tidur". "Betul..., paak, karena hawanya dingin membuat orang cepat
mengantuk", jawabku. "ooh..., iyaa..., paak.., silakan bapak tidur di
kamar yang sebelah depan", kata pak Tus sambil menunjuk arah kamar dan
lanjutnya lagi, "Maaf..., yaa.., paakk.., rumahnya kecil dan kotor
lagi". "aahh..., pak Tus..., ini selalu begitu",jawabku.
Aku segera bangkit dari dudukku dan berjalan menuju kamar depan yang
ditunjuk oleh pak Tus. Tetapi setelah masuk ke kamar yang ditunjuk oleh
pak Tus, aku jadi sangat terkejut karena di kamar itu telah ada
penghuninya yang telah tidur terlebih dahulu yaitu Aminah dan anaknya.
Karena takut salah kamar, aku segera keluar kembali untuk menanyakan
kepada pak Tus yang kebetulan baru datang dari arah belakang rumah, lalu
segera kutanyakan, "Maaf..., paak..., apa saya tidak masuk kamar yang
salah?", kataku sambil menunjuk kamar dan pak Tus langsung saja
menjawab, "Betuul..., paak..., dan maaf kalau Aminah dan anaknya tidur
di situ..., habis kamarnya hanya dua..., mudah-mudahan mereka tidak
mengganggu tidur bapak", kata pak Tus. "ooh..., ya sudah kalau begitu
paak..., saya hanya takut salah masuk kamar..., oke kalau begitu
paak..., selamat malaam". Aku segera kembali masuk ke kamar dan
menguncinya. Dapat kuceritakan kepada para penggemar situs 17Tahun,
kamar ini mempunyai hanya satu tempat tidur yang lebar dan Aminah serta
anaknya tidur disalah satu sisi, tetapi anaknya ditaruh di sebelah
pinggir tempat tidur dan dijaga dengan sebuah bantal agar supaya tidak
jatuh.
Setelah aku ganti pakaianku dengan sarung dan kaos oblong, pelan-pelan
aku menaiki tempat tidur agar keduanya tidak terganggu dan aku mencoba
memejamkan mataku agar cepat tidur dan tidak mempunyai pikiran
macam-macam, apalagi badanku terasa lelah sekali. Baru saja aku akan
terlelap, aku terjaga dan kaget karena dadaku tertimpa tangan Aminah
yang merubah posisi tidurnya menjadi telentang. Aku jadi penasaran, ini
sengaja apa kebetulan tetapi setelah kulirik ternyata nafas Aminah
sangat teratur sehingga aku yakin kalau Aminah memang telah tidur lelap,
tetapi kantukku menjadi hilang melihat cara Aminah tidur. Mungkin
sewaktu tidur tadi dia lupa mengancingkan rok atasnya sehingga agak
tersingkap dan belahan dada yang putih terlihat jelas dan rok bawahnya
tersingkap sebagian, hingga pahanya yang mulus itu terlihat jelas. Hal
ini membuat kantukku hilang sama sekali dan membuat penisku menjadi
tegang. Kepingin rasanya memegang badannya, tetapi aku takut kalau dia
berteriak dan akan membangunkan seluruh rumah. Setelah kuperhatikan
sejenak lalu kugeser tubuhku menjauh sehingga tangannya yang berada di
dadaku terjatuh di samping badannya dan kudengar Aminah menarik nafas
panjang seperti terjaga.
Setelah kudiamkan sejenak, seolah mengganti posisi tidur lalu
kumiringkan tidurku menghadap ke arahnya dan kujatuhkan tangan kiriku
pelan-pelan tepat di atas buah dadanya. Aminah tidak bereaksi jadi aku
mempunyai kesimpulan kalau dia memang telah tidur nyenyak sekali.
Perasaanku semakin tidak menentu apalagi tangan kiriku berada di
badannya yang paling empuk, tetapi aku tidak berani berbuat lebih jauh,
takut Aminah jadi kaget dan berteriak. Aku berpikir harus bagaimana agar
Aminah tidak kaget, tetapi belum sempat aku menemukan apa yang akan
kulakukan, Aminah bergerak lagi mengganti posisi tidurnya dan sekarang
menghadap ke arahku dan tangan kanannya dipelukkan di pinggangku. Dengan
posisi ini, wajahnya sudah sangat dekat dengan wajahku, sehingga
nafasnya terasa menyembur ke arahku. Dengan posisi wajahnya yang sudah
sangat dekat ini, perasaanku sudah semakin kacau dan penisku juga sudah
semakin tegang, lalu tanpa kupikir panjang kulekatkan bibirku
pelan-pelan di bibirnya, tetapi tanpa kuduga Aminah langsung memelukku
erat sambil berbisik, "Paakk..", dan langsung saja dengan sangat
bernafsu mencium bibirku dan tentu saja kesempatan ini tidak
kusia-siakan.
Sambil berciuman, kupergunakan tangan kiriku untuk mengusap-usap dahi
dan rambutnya. Aminah sangat aktif dan bernafsu serta melepaskan ciuman
di bibir dan mengalihkan ciumannya ke seluruh wajahku dan ketika
menciumi di dekat telingaku, dia membisikkan, Paak..., sshh...,
cepaatt..., Paakk..., toloong..., puasiinn..., am.., Paakk..,sshh",
setelah itu dia mengulum telingaku. Setelah aku ada kesempatan mencium
telinganya, aku segera mengatakan, "Aamm..., kita pindahkan Dody di
bawah..., yaa", dan Aminah langsung saja menjawab, "Yaa..., paak", dan
segera saja aku melepaskan diri dan bangun menyusun batal di bawah dan
kutidurkan dody di bawah. Selagi aku sibuk memindahkan Dody, kulihat
Aminah membuka pakaian dan BH-nya dan hanya tinggal memakai CD berwarna
merah muda dan kulihat buah dadanya yang boleh dibilang kecil dan masih
tegang, sehingga sulit dipercaya kalau dia sudah pernah kawin dan
mempunyai anak. Aku langsung saja melepaskan semua pakaian termasuk
CD-ku dan baru saja aku melepas CD-ku,
langsung saja aku diterkam oleh Aminah dan kembali kami berciuman sambil
kubimbing dia ke tempat tidur dan kutidurkan telentang. "Ayoo...,
Paak...", kembali Aminah berbisik di telingaku, "Am..., sudah..., tidak
tahaan..., paak". Aminah sepertinya sudah tidak sabar saja, ini
barangkali karena dia sudah lama cerai dan tidak ada laki-laki yang
menyentuhnya, tetapi permintaannya itu tidak aku turuti. Pelan-pelan
kualihkan ciumanku di bibirnya ke payudaranya dan ketika kusentuh
payudaranya dengan lidahku, terasa badannya menggelinjang dan terus saja
kuhisap-hisap puting susunya yang kecil, sehingga Aminah secara tidak
sadar mendesah, "Sshh..., aahh..., Paakk.., aduuh..., sshh",
dan seluruh badannya yang berada di bawahku bergerak secara liar. Sambil
tetap kijilati dan kuhisap payudaranya, kuturunkan CD-nya dan
kupermainkan vaginanya yang sudah basah sekali dan desahannya kembali
terdengar, "sshh..., aahh..., ayoo..., paak.., aduuh.., paak", seperti
menyuruhku untuk segera memasukkan penisku ke vaginanya. Aku tidak
segera memenuhi permintaannya, karena aku lebih tertarik untuk menghisap
vaginanya yang kembung menonjol dan tidak berbulu sama sekali.
Segera saja kulepaskan hisapanku di payudaranya dan aku pindahkan
badanku diantara kedua kakinya yang telah kulebarkan dahulu dan ketika
lidahku kujilatkan di sepanjang belahan bibir vaginanya yang basah dan
terasa agak asin, Aminah tergelinjang dengan keras dan mengangkat-angkat
pantatnya dan kedua tangannya mencengkeram keras di kasur sambil
mendesah agak keras, "aahh..., Paakk..., adduuhh.., paak. Aku teruskan
jilatan dan hisapan di seluruh vagina Aminah sambil kedua bibir
vaginanya kupegangi dan kupermainkan, sehingga gerakan badan Aminah
semakin menggila dan tangannya sekarang sudah tidak meremas kasur lagi
melainkan meremas rambut di kepalaku dan menekan ke vaginanya dan tidak
lama kemudian terdengar Aminah mengucap, "Aaduuhh..., adduuh...,
Paak..., aahh..., aduuh.., aahh.., paak", dan badannya
menggelepar-gelepar tidak karuan, lalu terdiam dengan nafas
terengah-engah, tetapi dengan masih tetap meremasi rambutku. Aku
hentikan jilatanku di vaginanya dan merayap keatas lalu kucium dahinya,
sedangkan Aminah dengan nafasnya yang masih terengah-engah menciumi
seluruh wajahku sambil memanggilku, "Paakk..., paak", entah untuk apa.
Ketika nafas Aminah sudah mulai agak teratur, lalu kutanya, "aam..,
boleh kumasukkan sekarang.., aam..", Aminah tidak segera menjawab hanya
terus menciumi wajahku, tetapi tak lama kemudian terdengar suara pelan
di telingaku, "Paak..., pelaan..., pelaan..., yaa..., Paak", dan dengan
tidak sabar lalu kupegang batang penisku dan kugesek gesekan pada
belahan vaginanya dengan sedikit kutekan dan ketika kuanggap pas di
lubang vaginanya, segera kutekan pelan-pelan dan Aminah sedikit
mengeluh, "Paak..., sakiit..., paak".
Mendengar keluhannya ini, segera kuhentikan tusukan penisku ke
vaginanya. Sambil kucium dahinya, kembali ketekan penisku pelan-pelan
dan terasa kepala penisku masuk sedikit demi sedikit ke lubang vaginanya
dan lagi-lagi terpaksa gerakan penisku kuhentikan, ketika Aminah
mengeluh, "Adduuh..., paak..". Setelah kudiamkan sebentar dan Aminah
tidak mengeluh lagi, kuangkat penisku keluar dari vaginanya dan kembali
kutusukkan pelan-pelan, ketika penisku terasa masuk, kulihat wajah
Aminah hanya mengerenyit sedikit tetapi tidak ada keluhan, sehingga
kembali kutusukkan penisku lebih dalam dan, "Bleess..", masuk disertai
dengan teriakan Aminah, "Aduuh..., paak", dan tangannya mencengkeram
pantatku, terpaksa penisku yang sudah masuk sebagian kutahan dan
kudiamkan di tempatnya..
Keyword : cerita seks,cerita dewasa,cerita,kumpulan cerita,mendesah,selingkuh,nikmat,sumber cerita,kumpulan cerita seks,hot story
|
MASUKKAN TOMBOL TWEET DISINI |
|
0 komentar:
Posting Komentar